Salinan Catatan Harian Dokter John
H. Watson, Pensiunan Departemen Medis Angkatan Darat
Bab 1 : Mr. Sherlock Holmes
Pada tahun 1878 aku mendapatkan gelar dokter umum dari Universitas
London, dan melanjutkan ke Netley untuk mengikuti pendidikan ahli bedah
khusus Angkatan Darat. Setelah menyelesaikan pendidikanku, aku
dimasukkan dalam resimen Northumberland Fusiliers Kelima sebagai asisten
ahli bedah. Resimen tersebut ditugaskan di India pada waktu itu, namun
sebelum aku sempat bergabung dengan mereka, perang Afghanistan kedua
meletus. Ketika mendarat di Bombay, aku mendapat kabar bahwa resimenku
telah bergerak maju melewati perbatasan dan tengah berada jauh di dalam
negara musuh. Aku menyusul bersama banyak perwira lain yang senasib
denganku, dan berhasil tiba di Candahar dengan selamat. Di sana
kutemukan resimenku, dan seketika memulai tugas baruku.
Perang Afghanistan kedua mendatangkan penghargaan dan promosi bagi banyak orang, tapi yang kuterima malah kesialan dan bencana. Aku dipindahkan ke resimen Berkshires dan berjuang bersama mereka dalam pertempuran yang fatal di Maiwand. Aku tertembak dalam pertempuran itu. Peluru Jezail mengenai bahuku dan menembus sampai ke tulang serta arteri. Hampir saja aku jatuh ke tangan para Ghazi yang gemar membunuh, kalau bukan karena jasa mantriku, Murray. Pemuda itulah yang dengan berani membawaku di atas punggung kuda hingga tiba dengan selamat di wilayah Inggris.
Lelah karena penderitaan dan lemah akibat rasa sakit yang mendera, aku dibebastugaskan. Bersama sekereta api penuh para prajurit yang terluka, aku dikirim ke rumah sakit pangkalan di Peshawar. Di sini aku berusaha keras, dan berhasil berjalan mondar-mandir di bangsal — bahkan agak memaksa sedikit hingga ke beranda. Tapi musibah kembali menimpaku; aku terserang tifus, penyakit yang merupakan "oleh-oleh" dari India.
Selama berbulan-bulan aku berada dalam keadaan kritis, dan sewaktu aku akhirnya lolos dari maut, kondisiku begitu lemah sehingga para dokter memutuskan untuk segera memulangkanku ke Inggris. Tanpa menyia-nyiakan waktu sehari pun, aku diberangkatkan dengan kapal perang Orontes, dan mendarat sebulan kemudian di dermaga Portsmouth. Kesehatanku tak mungkin pulih lagi, tapi Pemerintah memberiku izin untuk berusaha meningkatkannya dalam waktu sembilan bulan.
Aku tidak memiliki kerabat di Inggris, jadi hidupku sebebas udara—atau lebih tepatnya, sebebas orang yang berpenghasilan sebelas shilling enam penny sehari. Dalam keadaan seperti itu, jelas aku tertarik ke London, tempat berkumpulnya para pemalas dan penganggur. Selama beberapa waktu aku tinggal di sebuah hotel di Strand, menjalani kehidupan yang tidak nyaman dan tidak berarti, menghabiskan uang lebih boros dari yang seharusnya. Kondisi keuanganku jadi morat-marit, sehingga kemudian aku menyadari bahwa aku hanya punya dua pilihan: meninggalkan ibu kota dan berkarat di suatu tempat di pedalaman, atau mengubah gaya hidupku secara total. Memilih yang terakhir, aku membulatkan tekad untuk meninggalkan hotel dan mencari tempat lain yang tidak semewah dan semahal hotel tersebut.
Tepat pada hari aku mengambil keputusan itulah aku bertemu dengan Stamford, mantri yang bertugas memerban luka di bawah peng-wasanku di Rumah Sakit Barts. Stamford menepuk bahuku ketika aku sedang berdiri di Bar Criterion. Kehadiran sebentuk wajah yang familier di belantara London ini merupakan kejutan yang menyenangkan bagi pria kesepian seperti aku. Meskipun dulu kami tak begitu akrab, sekarang aku menyapa Stamford dengan antusias. Pemuda itu pun tampak senang bertemu denganku. Dalam kegembiraan yang meluap, kuajak Stamford makan siang di Holborn, dan kami menuju ke sana dengan kereta kuda.
"Apa saja yang kaulakukan selama ini, Watson?" tanya Stamford saat kereta kami berderap menyusuri jalan-jalan London yang ramai. "Kau tampak kurus dan cokelat sekali."
Kuceritakan secara singkat pengalamanku, dan belum lagi selesai sewaktu kami tiba di tempat tujuan.
"Malang sekali!" komentar Stamford setelah mendengar tentang musibah yang menimpaku. "Sekarang apa rencanamu?"
"Mencari tempat tinggal," jawabku. "Mencoba memecahkan masalah, apakah mungkin mendapatkan kamar yang nyaman dengan harga layak."
"Aneh," kata Stamford, "kau orang kedua hari ini yang berkata begitu kepadaku."
"Siapa orang yang pertama?" tanyaku.
"Rekan kerjaku di laboratorium kimia di rumah sakit. Tadi pagi dia mengeluh karena tidak bisa mendapatkan orang yang bersedia berbagi dengannya. Dia menemukan apartemen yang nyaman, tapi biaya sewanya terlalu tinggi untuk ditanggung sendiri."
"Kebetulan sekali!" seruku. "Kalau dia benarbenar sedang mencari orang untuk berbagi tempat tinggal dan biaya sewanya, akulah orang itu. Aku lebih suka tinggal bersama teman daripada seorang diri."
Stamford memandangku dengan ekspresi agak aneh dari balik gelas anggurnya. "Kau belum mengenal Sherlock Holmes," katanya. "Mungkin kau tidak ingin ditemani dirinya setiap saat."
"Kenapa, ada apa dengannya?"
"Oh, aku tidak mengatakan kalau ada apa-apa dengannya. Orangnya cukup baik, hanya saja dia memiliki gagasan yang aneh-aneh. Dia menaruh perhatian besar terhadap beberapa cabang sains."
"Mahasiswa kedokteran, mungkin?" kataku.
"Tidak—aku tidak tahu apa tujuan belajarnya. Dia mendalami anatomi dan sangat ahli di bidang kimia, tapi sepanjang pengetahuanku, dia tidak pernah mengikuti pendidikan medis secara sistematik. Cara belajarnya aneh dan tak berketentuan, namun dia berhasil mengumpulkan banyak pengetahuan yang akan membuat para profesor terpana."
"Apa kau tak pernah bertanya, untuk apa dia mempelajari semua itu?" tanyaku.
"Tidak, sebab dia orang yang agak tertutup, meskipun dia bisa juga bicara panjang-lebar kalau lagi mau."
"Aku ingin bertemu dengannya," kataku. "Kalau aku harus berbagi tempat tinggal dengan seseorang, aku lebih suka memilih orang yang senang belajar dan memiliki kebiasaan-kebiasaan yang tenang. Aku belum cukup kuat untuk menghadapi keributan atau suara-suara keras. Selama di Afghanistan kedua hal itu sudah terlalu banyak menderaku, sehingga rasanya aku tak ingin menjumpainya lagi sepanjang sisa hidupku. Bagaimana aku bisa bertemu dengan temanmu ini?"
"Dia jelas ada di laboratorium," sahut Stamford. "Orang itu memang aneh. Adakalanya dia tidak muncul di laboratorium selama berminggu-minggu, tapi di saat lain dia bisa mendekam di sana dari pagi sampai malam. Kalau kau suka, kita bisa ke sana bersama-sama sesudah makan siang."
"Ya, terima kasih," jawabku, dan percakapan pun beralih ke hal-hal lain..
Saat menuju rumah sakit setelah meninggalkan Holborn, Stamford kembali menyinggung masalah Sherlock Holmes.
"Jangan salahkan aku jika kau tak cocok dengan Sherlock Holmes," Stamford memperingatkan. "Aku sendiri tidak begitu dekat dengannya. Kami hanya sesekali bertemu di laboratorium. Kau yang mengatakan ingin berbagi tempat tinggal dengannya, jadi kelak jangan menuntut pertanggungjawabanku."
"Kalau kami ternyata tidak cocok, kami kan bisa berpisah," tukasku. "Sebenarnya ada apa sih, Stamford?" tanyaku sambil menatapnya tajam. "Temperamen orang ini begitu payah, atau ada masalah lain? Ceritakan terus terang, jangan berbelit-belit!"
"Tak mudah untuk mengungkapkan apa yang tidak bisa diungkapkan," jawab Stamford sambil tertawa. "Begini, bagiku Holmes itu terlalu ilmiah, bahkan cenderung berdarah dingin. Bisa kubayangkan dia memberikan alkaloid tumbuhan terbaru kepada teman serumahnya, bukan karena niat jahat, tapi sekadar karena ingin tahu pengaruhnya. Supaya adil, aku harus mengatakan bahwa Holmes pun akan mengkonsumsi zat itu dengan kesiapan yang sama. Dia tampaknya begitu bernafsu untuk memperoleh pengetahuan yang jelas dan eksak."
"Memang seharusnya begitu."
"Ya, tapi mungkin Holmes sudah terlalu berlebihan. Bayangkan saja, dia pernah memukuli mayat-mayat di kamar bedah dengan tongkat!"
"Memukuli mayat!"
"Ya, untuk melihat apakah memar masih akan timbul setelah kematian. Aku menyaksikan perbuatan Holmes itu dengan mata kepalaku sendiri."
"Dan kau mengatakan dia bukan mahasiswa kedokteran?"
"Ya. Hanya Tuhan yang tahu apa tujuannya mempelajari semua itu. Tapi kita sudah tiba, dan kau bisa menentukan sendiri bagaimana kesanmu tentang dia."
Saat Stamford berbicara, kereta kami berbelok ke sebuah jalan sempit dan melewati pintu samping kecil menuju salah satu sayap rumah sakit besar itu. Tempat ini telah kukenal, dan aku tidak memerlukan pemandu untuk berjalan menaiki tangga batu lalu menelusuri koridor panjang berdinding putih dengan pintu-pintu cokelat pasir di kanan-kirinya. Di dekat ujung koridor itu aku membelok ke lorong melengkung beratap rendah tempat laboratorium kimia terletak.
Laboratorium itu penuh sesak oleh botol, baik yang berjajar rapi maupun yang tergeletak sembarangan. Meja-meja rendah dan lebar "bertebaran", dipenuhi oleh tabung uji serta lampu-lampu Bunsen kecil dengan api biru yang menari-nari. Hanya ada satu orang di dalam ruangan tersebut; ia tengah membungkuk di meja seakan-akan tenggelam dalam pekerjaannya. Mendengar suara langkah kami, orang itu berpaling, dan menegakkan tubuh sambil berteriak gembira.
"Sudah kutemukan! Sudah kutemukan!" teriaknya kepada temanku, sambil berlari mendekati kami dengan membawa sebuah tabung uji. "Aku sudah menemukan reagen yang hanya bereaksi oleh haemoglobin dan tidak oleh zat lain."
Andaipun yang ditemukannya tambang emas, barangkali kegembiraan yang terpancar di wajah orang itu tak lebih hebat daripada sekarang.
"Dr. Watson, Mr. Sherlock Holmes," Stamford memperkenalkan kami berdua.
"Apa kabar?" sapa Holmes riang, menjabat tanganku kuat-kuat. "Kau baru datang dari Afghanistan, ya."
"Dari mana kau tahu?" tanyaku terkejut.
"Itu tidak penting," tukasnya, tergelak sendiri. "Yang lebih penting adalah penemuan tentang haemoglobin ini. Kau tentu memahami artinya bagi umat manusia, bukan?"
"Memang menarik, dalam bidang kimia," jawabku, "tapi aku tak melihat kegunaannya dalam hidup sehari-ha..."
"Ya ampun! Masa kau tak mengerti? Ini penemuan legal-medis paling praktis yang pernah ada. Dengan reagen ini, kita bisa memastikan apakah sebuah noda itu berasal dari darah atau bukan. Kemarilah!" Holmes menarik kerah mantelku dengan penuh semangat dan menghelaku ke meja kerjanya.
"Kita membutuhkan darah segar," katanya sambil menusukkan sebatang jarum panjang ke jarinya. Diisapnya darah yang keluar dengan pipet. "Sekarang, kumasukkan beberapa tetes darah ini ke dalam satu liter air. Campuran yang dihasilkan tampak seperti air murni. Proporsi darahnya tidak mungkin lebih dari satu dalam sejuta. Tapi aku tidak ragu bahwa kita akan mendapatkan reaksi karakteristiknya."
Sambil bicara, Holmes melemparkan beberapa butir kristal putih ke dalam air, lalu menambahkan beberapa tetes cairan tembus pandang. Seketika airnya berubah menjadi cokelat keruh, dan butir-butir debu kecokelatan mengumpul di bagian bawah stoples kaca tersebut.
"Ha! Ha!" teriak Holmes sambil bertepuk tangan, tampak sama gembiranya dengan anak kecil yang mendapatkan mainan baru. "Bagai-mana pendapatmu?"
"Tes ini tampaknya cukup ampuh," kataku.
"Bagus! Bagus! Tes guaiacum yang lama sangat kacau dan tidak pasti. Begitu pula dengan pemeriksaan mikroskopis sel-sel darah. Pemeriksaan mikroskopis tidak ada gunanya kalau darahnya sudah berusia beberapa jam, sedang tesku ini tampaknya berfungsi dengan baik entah darahnya masih baru atau sudah lama. Seandainya tes ini diciptakan sejak dulu, ratusan orang yang sekarang berkeliaran bebas pasti sudah mendapat hukuman atas kejahatan mereka."
"Oh ya?" gumamku.
"Pembuktian kasus-kasus kejahatan kan selalu bergantung pada satu hal: apakah pada tersangka ditemukan darah korban. Padahal, seseorang mungkin baru disangka melakukan pembunuhan setelah pembunuhan itu lewat berbulan-bulan.
Celana atau kemeja tersangka diperiksa, dan ditemukan ada noda kecokelatan di sana. Tapi apakah itu noda darah, lumpur, karat, buah-buahan, atau apa? Pertanyaan ini membingungkan banyak pakar—kau tahu apa sebabnya? Karena tidak ada tes yang bisa dipercaya. Sekarang kita memiliki Tes Sherlock Holmes, dan tidak akan ada kesulitan lagi."
Mata pria itu berkilau-kilau saat ia berbicara, dan ia meletakkan tangan di dada sambil membungkuk seakan-akan memberi hormat kepada orang-orang yang memberi aplaus kepadanya.
"Kau memang layak diberi ucapan selamat," kataku, agak terkejut melihat antusiasmenya.
"Tahun lalu ada kasus Von Bischoff di Frankfurt. Dia pasti sudah digantung seandainya tes ini sudah ditemukan. Lalu ada kasus Mason dari Bradford, Lefevre dari Montpellier, Samson dari New Orleans, dan Muller si penjahat kambuhan. Aku bisa menyebutkan berpuluh-puluh kasus yang seharusnya sudah terpecahkan."
"Kau seperti kalender kasus kejahatan saja," kata Stamford tertawa. "Mestinya kau menerbitkan koran yang isinya semua kasus kejahatan. 'Kumpulan Kasus Seru'... mungkin begitu judul-nya."
"Pasti menjadi bacaan yang sangat menarik," kata Holmes sambil menempelkan plester ke luka tusukan di jarinya. "Aku harus hati-hati," jelasnya, berpaling kepadaku dan tersenyum, "karena aku sering berurusan dengan racun."
Ia memperlihatkan tangannya yang dipenuhi potongan-potongan kecil plester. Kulihat kulitnya di sana-sini berubah warna akibat terkena asam yang kuat.
"Kami datang kemari karena ada urusan," kata Stamford, duduk di kursi bulat berkaki tiga dan mendorong kursi yang satu lagi ke arahku. "Temanku ini perlu tempat tinggal, sementara kau sedang mencari orang untuk diajak berbagi. Kurasa kalian berdua bisa saling membantu."
Sherlock Holmes tampak senang mendengar ide itu. "Aku sudah menemukan apartemen yang tampaknya cocok untuk kita berdua," kata Holmes padaku. "Letaknya di Baker Street. Kau tidak keberatan dengan bau tembakau yang keras, kuharap?"
"Aku sendiri selalu mengisap cerutu," kataku.
"Bagus. Aku biasanya membawa bahan kimia, dan sesekali mengadakan percobaan. Apa itu mengganggumu?"
"Sama sekali tidak."
"Hmm... apa keburukanku yang lain? Aku terkadang tenggelam dalam pemikiranku, dan tidak membuka mulut sampai berhari-hari. Jangan menganggapku marah kalau aku berbuat begitu, dan yang penting, jangan menggangguku.
Tak lama kemudian aku pasti akan pulih. Nah, ada yang ingin kauakui? Rasanya paling baik kalau dua orang saling mengetahui keburukan masing-masing sebelum mereka mulai hidup bersama."
Aku tertawa karena pemeriksaan silang ini. "Aku tidak tahan menghadapi keributan," ujarku. "Aku perlu ketenangan karena sarafku sedang terguncang. Aku sering terjaga pada jam-jam yang tidak biasa, dan aku malas luar biasa. Ada beberapa hal lain yang kulakukan dalam keadaan sehat, tapi untuk sekarang ini, kurasa itu sudah cukup."
"Apa menurutmu bermain biola termasuk keributan?" tanya Holmes ingin tahu.
"Tergantung siapa yang memainkan. Biola yang dimainkan dengan baik merupakan hiburan bagi para dewa, tapi permainan yang buruk..."
"Oh, beres kalau begitu," seru Holmes sambil tertawa riang. "Kurasa kita sudah mencapai kesepakatan... tentu saja, jika apartemennya sesuai dengan keinginanmu."
"Kapan kita bisa melihatnya?"
"Temui aku di sini tengah hari besok. Kita ke sana bersama-sama untuk membereskan segalanya."
"Baiklah," kataku sambil menjabat tangannya. "Tengah hari besok."
Aku dan Stamford berjalan bersama-sama kem bali ke hotelku, meninggalkan Holmes yang melanjutkan pekerjaannya di laboratorium.
"Omong-omong," kataku tiba-tiba, berhenti dan berbalik menghadap Stamford, "dari mana dia tahu bahwa aku datang dari Afghanistan?"
Stamford melempar senyum pehuh teka-teki. "Itulah salah satu keanehan Sherlock Holmes. Banyak orang ingin tahu bagaimana dia bisa mengetahui hal-hal seperti itu."
"Oh, jadi dia orang yang misterius, ya?" seruku sambil menggosok-gosokkan tangan. "Menarik sekali. Aku sangat berterima kasih kau sudah mempertemukan kami. 'Objek yang paling tepat dalam studi kemanusiaan adalah manusia itu sendiri,"' kukutip kata-kata orang bijak itu.
"Kalau begitu, kau harus mempelajari Sherlock Holmes," kata Stamford saat kami akan berpisah. "Tapi kurasa kau akan menemui kesulitan. Berani taruhan, dia akan lebih banyak mempelajari dirimu daripada kau mempelajari dirinya. Sampai ketemu lagi, Watson."
"Sampai jumpa," jawabku, melangkah masuk ke hotelku sambil masih memikirkan kenalan baruku.
Bab 2 : Ilmu Deduksi
Aku dan Sherlock Holmes bertemu keesokan harinya sesuai perjanjian.
Bersama-sama kami pergi ke Baker Street No. 22IB dan memeriksa apartemen
yang dibicarakannya kemarin. Apartemen itu terdiri atas dua kamar tidur
yang nyaman dan sebuah ruang duduk yang lapang dengan perabotan lengkap
serta ventilasi baik. Penerangannya juga bagus karena cahaya masuk
dengan bebas dari dua jendela besar yang ada di sana. Apartemen tersebut
begitu menarik dalam segala hal, harganya juga cukup murah bila
ditanggung kami berdua, sehingga saat itu juga kami memutuskan untuk
menyewanya. Uang sewa diserahkan kepada pemilik apartemen, surat-surat
ditandatangani, dan resmllah apartemen itu menjadi tempat tinggal kami.
Malam itu juga aku memindahkan barang-barangku dari hotel, dan keesokan paginya Sherlock Holmes mengikuti langkahku dengan membawa beberapa kotak dan koper. Selama satu-dua hari kami sibuk membongkar serta me-nata barang-barang kami, setelah itu barulah kami menyesuaikan diri dengan lingkungan baru kami.
Holmes ternyata bukan orang yang sulit untuk diajak hidup bersama. Ia tak pernah membuat keributafi dan hidupnya cukup teratur. Sebelum pukul sepuluh ia sudah tidur, dan kebanyakan sudah sarapan serta pergi ke iuar pada saat aku bangun. Holmes menghabiskan waktu sepanjang hari di laboratorium kimia dan terkadang di kamar bedah. Sesekali ia berjalan-jalan lama, kelihatannya ke kawasan terkumuh kota.
Tak ada apa pun yang bisa mengalahkan energinya pada saat semangat kerja menguasainya, tapi di lain waktu ia hanya berbaring di sofa ruang duduk, hampir tanpa mengatakan apa-apa, sama sekali tak bergerak dari pagi hingga malam. Pandangan matanya kosong seperti orang yang kecanduan narkotik, tapi aku tahu itu tak mungkin sebab hidupnya selama ini sama sekali tak menunjukkan gejala ke arah itu.
Beberapa minggu berlalu, aku makin penasaran. Apa sebenarnya tujuan hidup Sherlock Holmes? Pertanyaan ini terus mengusikku. Holmes memiliki kepribadian serta penampilan yang pasti akan menarik minat siapa pun. Ia bertubuh jangkung, tingginya lebih dari 180 sentimeter, dan begitu kurus hingga tampak lebih jangkung. Matanya tajam menusuk, kecuali ketika sedang melamun, dan hidungnya yang runcing bagai paruh rajawali menyebabkan seluruh ekspresinya terkesan waspada dan mantap. Dagunya kokoh.dan berbentuk segi empat, menandakan ia orang yang bertekad kuat. Tangannya sering kali ternoda tinta serta bahan kimia, namun sentuhannya begitu halus, sebagaimana kusaksikan saat ia memainkan biolanya.
Pembaca mungkin menganggapku orang yang usil luar biasa, kalau kuakui betapa Sherlock Holmes telah merangsang rasa ingin tahuku, dan betapa inginnya aku memecahkan misteri yang menyelubungi dirinya. Namun sebelum memberikan penilaian, Anda harus ingat bahwa saat itu aku sedang menganggur dan tak ada hal lain yang menarik perhatianku. Kondisi kesehatanku menyebabkan aku tak bisa keluar ru-mah kecuali ketika cuaca sangat cerah, padahal aku tidak memiliki teman yang bisa mengunjungiku dan mematahkan rutinitas kehidupanku. Dalam situasi seperti ini, dengan penuh semangat aku menyambut misteri kecil yang ada di ha-dapanku dan berusaha mengungkapkannya.
Holmes bukan mahasiswa kedokteran. Ini diakuinya sendiri ketika kutanya. Ia juga tidak terlihat memburu bacaan apa pun yang memungkinkannya untuk mendapatkan gelar di bidang sains atau bidang lainnya. Sekalipun begitu, ada hal-hal tertentu yang dengan tekun dipelajarinya, dan dalam batasan-batasan eksentrik pengetahuannya luar biasa banyak dan pengamatannya begitu rinci sehingga aku tertegun. Jelas tidak ada orang yang mau bekerja begitu keras atau memperoleh informasi setepat itu tanpa tujuan yang nyata. Orang yang membaca hanya untuk iseng pasti hanya memperoleh pengetahuan se-kadarnya, berbeda dengan Holmes yang mau membebani benaknya sampai ke hal-hal kecil.
Anehnya, pengetahuan. Holmes yang begitu luar biasa diimbangi dengan ketidaktahuan yang sama besar di bidang lain. Holmes sama sekali tak tahu apa-apa tentang karya-karya sastra kon-temporer, filosofi, dan politik. Saat aku mengutip pendapat Thomas Carlyle, dengan naif Holmes bertanya siapa orang itu dan kejahatan apa yang dilakukannya. Keherananku mencapai puncak sewaktu tanpa sengaja kuketahui bahwa Holmes tidak mengerti Teori Copernicus dan komposisi Tata Surya. Bahwa ada manusia beradab di abad kesembilan belas ini yang tidak menyadari bahwa bumi mengitari matahari, bagiku merupakan fakta yang begitu luar biasa hingga aku hampir-hampir tidak mempercayainya.
"Kau kaget, ya," kata Holmes, tersenyum melihat ekspresi wajahku. "Sekarang aku sudah tahu teori-teori itu, tapi aku hams berusaha sebaik-baiknya untuk melupakannya."
"Melupakannya!"
"Begini," katanya menjelaskan, "otak manusia pada awalnya sama seperti loteng kecil yang kosong, dan kau harus mengisinya dengan perabot yang sesuai dengan pilihanmu. Orang bodoh mengambil semua informasi yang ditemuinya, sehingga pengetahuan yang mungkin berguna baginya terjepit di tengah-tengah atau tercampur dengan hal-hal lain. Orang bijak sebaliknya. Dengan hati-hati ia memilih apa yang dimasukkannya ke dalam loteng-otaknya. Ia tidak akan memasukkan apa pun kecuali peralatan yang akan membantunya dalam melakukan pekerjaannya, sebab peralatan ini saja sudah sangat banyak. Semuanya itu diatur rapi dalam loteng-otaknya sehingga ketika diperlukan, ia dapat dengan mudah menemukannya. Keliru kalau kaupikir loteng-otak kita memiliki dinding-dinding yang bisa membesar. Untuk setiap pengetahuan yang kaumasukan, ada sesuatu yang sudah kauketahui yang terpaksa kaulupakan. Oleh karena itu penting sekali untuk tidak membiarkan fakta yang tidak berguna menyingkirkan fakta yang berguna."
"Tapi Tata Surya!" kataku memprotes.
"Apa gunanya bagiku?" tukas Holmes tak sabar. "Kalaupun bumi bergerak mengitari bulan, itu tidak akan mempengaruhi pekerjaanku!"
Aku hampir saja menanyakan apa pekerjaannya, tapi sesuatu dalam sikapnya menunjukkan bahwa itu bukan saat yang tepat. Aku hanya bisa mengingat-ingat percakapan singkat kami dan berusaha keras menarik kesimpulan dari percakapan tersebut.
Holmes mengatakan bahwa ia tak mau me-nyimpan pengetahuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Oleh karena itu, semua pengetahuan yang dimilikinya sekarang pastilahberguna baginya. Aku mencoba membuat daftar hal-hal yang diketahui Holmes, dan tak bisa menahan senyum ketika melihat hasilnya. Dalam catatanku tertulis:
Malam itu juga aku memindahkan barang-barangku dari hotel, dan keesokan paginya Sherlock Holmes mengikuti langkahku dengan membawa beberapa kotak dan koper. Selama satu-dua hari kami sibuk membongkar serta me-nata barang-barang kami, setelah itu barulah kami menyesuaikan diri dengan lingkungan baru kami.
Holmes ternyata bukan orang yang sulit untuk diajak hidup bersama. Ia tak pernah membuat keributafi dan hidupnya cukup teratur. Sebelum pukul sepuluh ia sudah tidur, dan kebanyakan sudah sarapan serta pergi ke iuar pada saat aku bangun. Holmes menghabiskan waktu sepanjang hari di laboratorium kimia dan terkadang di kamar bedah. Sesekali ia berjalan-jalan lama, kelihatannya ke kawasan terkumuh kota.
Tak ada apa pun yang bisa mengalahkan energinya pada saat semangat kerja menguasainya, tapi di lain waktu ia hanya berbaring di sofa ruang duduk, hampir tanpa mengatakan apa-apa, sama sekali tak bergerak dari pagi hingga malam. Pandangan matanya kosong seperti orang yang kecanduan narkotik, tapi aku tahu itu tak mungkin sebab hidupnya selama ini sama sekali tak menunjukkan gejala ke arah itu.
Beberapa minggu berlalu, aku makin penasaran. Apa sebenarnya tujuan hidup Sherlock Holmes? Pertanyaan ini terus mengusikku. Holmes memiliki kepribadian serta penampilan yang pasti akan menarik minat siapa pun. Ia bertubuh jangkung, tingginya lebih dari 180 sentimeter, dan begitu kurus hingga tampak lebih jangkung. Matanya tajam menusuk, kecuali ketika sedang melamun, dan hidungnya yang runcing bagai paruh rajawali menyebabkan seluruh ekspresinya terkesan waspada dan mantap. Dagunya kokoh.dan berbentuk segi empat, menandakan ia orang yang bertekad kuat. Tangannya sering kali ternoda tinta serta bahan kimia, namun sentuhannya begitu halus, sebagaimana kusaksikan saat ia memainkan biolanya.
Pembaca mungkin menganggapku orang yang usil luar biasa, kalau kuakui betapa Sherlock Holmes telah merangsang rasa ingin tahuku, dan betapa inginnya aku memecahkan misteri yang menyelubungi dirinya. Namun sebelum memberikan penilaian, Anda harus ingat bahwa saat itu aku sedang menganggur dan tak ada hal lain yang menarik perhatianku. Kondisi kesehatanku menyebabkan aku tak bisa keluar ru-mah kecuali ketika cuaca sangat cerah, padahal aku tidak memiliki teman yang bisa mengunjungiku dan mematahkan rutinitas kehidupanku. Dalam situasi seperti ini, dengan penuh semangat aku menyambut misteri kecil yang ada di ha-dapanku dan berusaha mengungkapkannya.
Holmes bukan mahasiswa kedokteran. Ini diakuinya sendiri ketika kutanya. Ia juga tidak terlihat memburu bacaan apa pun yang memungkinkannya untuk mendapatkan gelar di bidang sains atau bidang lainnya. Sekalipun begitu, ada hal-hal tertentu yang dengan tekun dipelajarinya, dan dalam batasan-batasan eksentrik pengetahuannya luar biasa banyak dan pengamatannya begitu rinci sehingga aku tertegun. Jelas tidak ada orang yang mau bekerja begitu keras atau memperoleh informasi setepat itu tanpa tujuan yang nyata. Orang yang membaca hanya untuk iseng pasti hanya memperoleh pengetahuan se-kadarnya, berbeda dengan Holmes yang mau membebani benaknya sampai ke hal-hal kecil.
Anehnya, pengetahuan. Holmes yang begitu luar biasa diimbangi dengan ketidaktahuan yang sama besar di bidang lain. Holmes sama sekali tak tahu apa-apa tentang karya-karya sastra kon-temporer, filosofi, dan politik. Saat aku mengutip pendapat Thomas Carlyle, dengan naif Holmes bertanya siapa orang itu dan kejahatan apa yang dilakukannya. Keherananku mencapai puncak sewaktu tanpa sengaja kuketahui bahwa Holmes tidak mengerti Teori Copernicus dan komposisi Tata Surya. Bahwa ada manusia beradab di abad kesembilan belas ini yang tidak menyadari bahwa bumi mengitari matahari, bagiku merupakan fakta yang begitu luar biasa hingga aku hampir-hampir tidak mempercayainya.
"Kau kaget, ya," kata Holmes, tersenyum melihat ekspresi wajahku. "Sekarang aku sudah tahu teori-teori itu, tapi aku hams berusaha sebaik-baiknya untuk melupakannya."
"Melupakannya!"
"Begini," katanya menjelaskan, "otak manusia pada awalnya sama seperti loteng kecil yang kosong, dan kau harus mengisinya dengan perabot yang sesuai dengan pilihanmu. Orang bodoh mengambil semua informasi yang ditemuinya, sehingga pengetahuan yang mungkin berguna baginya terjepit di tengah-tengah atau tercampur dengan hal-hal lain. Orang bijak sebaliknya. Dengan hati-hati ia memilih apa yang dimasukkannya ke dalam loteng-otaknya. Ia tidak akan memasukkan apa pun kecuali peralatan yang akan membantunya dalam melakukan pekerjaannya, sebab peralatan ini saja sudah sangat banyak. Semuanya itu diatur rapi dalam loteng-otaknya sehingga ketika diperlukan, ia dapat dengan mudah menemukannya. Keliru kalau kaupikir loteng-otak kita memiliki dinding-dinding yang bisa membesar. Untuk setiap pengetahuan yang kaumasukan, ada sesuatu yang sudah kauketahui yang terpaksa kaulupakan. Oleh karena itu penting sekali untuk tidak membiarkan fakta yang tidak berguna menyingkirkan fakta yang berguna."
"Tapi Tata Surya!" kataku memprotes.
"Apa gunanya bagiku?" tukas Holmes tak sabar. "Kalaupun bumi bergerak mengitari bulan, itu tidak akan mempengaruhi pekerjaanku!"
Aku hampir saja menanyakan apa pekerjaannya, tapi sesuatu dalam sikapnya menunjukkan bahwa itu bukan saat yang tepat. Aku hanya bisa mengingat-ingat percakapan singkat kami dan berusaha keras menarik kesimpulan dari percakapan tersebut.
Holmes mengatakan bahwa ia tak mau me-nyimpan pengetahuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Oleh karena itu, semua pengetahuan yang dimilikinya sekarang pastilahberguna baginya. Aku mencoba membuat daftar hal-hal yang diketahui Holmes, dan tak bisa menahan senyum ketika melihat hasilnya. Dalam catatanku tertulis:
Sherlock Holmes—kelebihan dan kekurangannya :
Pengetahuan tentang Sastra—Nol.
Pengetahuan tentang Filsafat—Nol.
Pengetahuan tentang Astronomi—Nol.
Pengetahuan tentang Politik—Rendah.
Pengetahuan tentang Botani—Bervariasi. Sangat memahami belladonna,
opium, dan racun-racun secara umum. Tidak tahu apa-apa tentang praktek
berkebun.
Pengetahuan tentang Geologi—Praktis tapi terbatas. Mampu membedakan
tanah dengan sekali pandang. Sesudah berjalan-jalan dia pernah
menunjukkan noda-noda cipratan tanah pada celana panjangnya. Dari warna
dan konsistensinya, dia tahu dari daerah mana tanah itu berasal.
Pengetahuan tentang Kimia—Menonjol.
Anatomi—Akurat tapi kurang sistematis.
Pengetahuan tentang Berita-berita Menghebohkan—Sangat banyak. Dia
tampaknya tahu secara rinci semua tindak kejahatan yang terjadi pada
abad ini.
Bermain biola dengan baik.
Sangat pandai dalam bela diri satu tongkat, tinju, dan pedang.
Memiliki pengetahuan praktis tentang Hukum Inggris.
Begitu catatanku sampai sejauh ini, namun setelah membacanya kembali,
aku masih belum dapat menyimpulkan benang merah yang ada di antara semua
itu. "Kalau saja aku bisa mengetahui, apa tujuan Holmes mempelajari
semua ini... Bidang apa yang memerlukan kemahiran-kemahiran ini?" aku
bertanya pada diriku sendiri. "Aku menyerah!" Dengan putus asa
kulemparkan catatan itu ke dalam api.
Oh ya, tadi aku sudah mengatakan bahwa Holmes pandai bermain biola. Tapi
aku belum menjelaskan bahwa seperti kelebihan-kelebihannya yang lain,
urusan bermain biola ini juga menunjukkan keeksentrikan Holmes. Bahwa ia
bisa memainkan lagu-lagu yang sulit dan indah, aku tak meragukannya,
karena memenuhi permintaanku ia pernah memainkan Lieder karya
Mendelssohn dan karya-karya komponis besar lainnya. Namun di waktu-waktu
selebihnya, Holmes kebanyakan menggesek biolanya secara sembarangan.
Terkadang nadanya melankolis, sesekali ceria dan penuh semangat. Jelas
bahwa nada-nada tersebut merefleksikan suasana hatinya, tapi entah musik
tersebut membantu pemikirannya, atau ia bermain sekadar iseng, aku tak
dapat memastikannya. Aku-mungkin akan memprotes permainan solo yang
mengesalkan itu, seandainya ia tidak mengkompensasikannya dengan
serangkaian musik kesukaanku sebagai penutup.
Kembali kepada kehidupan kami bersama. Selama minggu pertama kami
tinggal di Baker Street, tak ada seorang tamu pun yang datang
berkunjung. Aku mulai berpikir bahwa teman seapartemenku ini tidak
berkawan, sebagaimana aku sendiri. Tapi kemudian kudapati bahwa Holmes
ternyata mempunyai banyak kenalan, dari berbagai kelas dan golongan
dalam masyarakat. Ada pria kecil berwajah runcing bernama Mr. Lestrade
yang datang tiga-empat kali seminggu. Ada pula gadis berpakaian keren
yang muncul pada suatu pagi dan bertamu di apartemen kami selama sekitar
setengah jam. Pada hari yang sama datang seorang pria berambut ubanan,
mirip pedagang Yahudi, diikuti oleh seorang wanita tua. Dari bangsawan
sampai portir, semua pernah mampir di apartemen kami.
Bilamana orang-orang ini datang, Holmes rasanya meminta izin untuk menggunakan ruang duduk, dan aku akan diam di kamar tidurku.
"Aku harus menggunakan tempat ini sebagai kantor," jelas Holmes. "Orang-orang itu adalah klienku."
Sekali lagi aku mendapat kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, namun
sopan santun menghalangiku untuk memaksa orang mempercakan rahasianya
kepadaku. Holmes pastilah memiliki alasan kuat untuk tidak membicarakan
pekerjaannya.
Tapi beberapa waktu kemudian, ia sendiri yang meyinggung masalah itu.
Aku ingat ketika itu tanggal 4 Maret, aku bangun lebih awal dari biasa
dan mendapati Holmes sedang sarapan. Sarapanku sendiri belum tersedia,
karena induk semangku tahu aku biasa makan agak siang. Dengan
jengkel—meskipun perasaan itu sebenarnya tak beralasan—aku membunyikan
bel dan memberitahukan bahwa aku telah siap. Sambil menunggu, aku meraih
majalah yang ada di meja dan mulai membalik-baliknya, sementara Holmes
dengan tenang menikmati roti bakarnya. Salah satu artikel dalam majalah
tersebut judulnya ditandai dengan pensil, maka wajarlah kalau aku pun
membacanya.
Judulnya cukup hebat... "Buku Kehidupan". Artikel tersebut berusaha
meyakinkan pembaca bahwa seseorang bisa mendapatkan banyak informasi
jika ia mau mengadakan pengamatan yang cermat dan sistematis. Menurutku,
tulisan itu terlalu mengada-ada dan konyol. Argumen-argumennya cukup
kuat, tapi deduksi-deduksinya terlalu berlebihan dan ngawur. Sang
penulis mengklaim bahwa dari ekspresi sesaat, sentakan otot, atau
lirikan mata, ia bisa mengetahui pikiran seseorang. Kesimpulannya tak
mungkin salah, sebab ia sudah terlatih untuk mengamati dan menganalisis.
Orang awam mungkin akan menganggapnya paranormal, padahal semua itu
merupakan hasil penalaran yang logis.
"Dari setetes air," penulis memberi contoh, "seseorang yang mengandalkan
logikanya bisa menentukan apakah air tersebut berasal dari Samudra
Atlantik atau Air Terjun Niagara, meskipun ia belum pernah melihat kedua
tempat itu. Jadi, seluruh kehidupan dapat diumpamakan sebagai sebuah
rantai besar, yang sifat-sifatnya dapat dikenali bila kita memperoleh
mata rantainya. Seperti semua ilmu lain, kemahiran Deduksi dan Analisis
hanya bisa diperoleh dengan belajar dalam waktu yang lama dan dengan
penuh kesabaran. Sayangnya, hidup manusia tak cukup panjang untuk
memungkinkan siapa pun mencapai kesempurnaan dalam bidang ini. Nah,
sebelum Anda mencoba membaca pikiran orang seperti yang disebutkan di
atas, sebaiknya Anda mempelajari hal-hal yang lebih mendasar. Saat
beremu seseorang, cobalah untuk menebak asal-usul serta profesinya dari
pengamatan sekilas. Sekalipun tampak sepele, latihan ini mempertajam
pengamatan, dan mengajar Anda untuk mengetahui hal-hal apa saja yang
perlu diperhatikan. Profesi seseorang, misalnya, dapat dilihat dari
kuku-kuku tangannya serta halus tidaknya jempol dan jari telunjuknya,
juga dari kerah mantel, sepatu bot, dan lutut celana panjang yang
dikenakannya. Mustahil kalau setelah menggabungkan semua itu, Anda tak
dapat menarik kesimpulan."
"Omong kosong!" seruku, mengempaskan majalah tersebut ke meja. "Aku belum pernah membaca sampah seperti ini seumur hidupku."
"Ada apa?" tanya Holmes.
"Artikel ini," kataku, menunjuk dengan sendok telurku dan mulai
menyantap sarapanku. "Kau rasti sudah membacanya karena kulihat kau
menandainya dengan pensil. Tulisan ini memang menarik dan tampaknya
meyakinkan, tapi sama sekali tidak praktis. Kurasa ini cuma teori orang
yang duduk di ruang kerjanya dan mengolah paradoks kecil ini dalam
pikirannya. Coba kalau dia disuruh naik gerbong kelas tiga kereta api
bawah tanah, aku ingin melihat apakah dia bisa menentukan profesi para
penumpang di gerbong itu. Aku berani bertaruh seribu pound, dia tak
mungkin mampu melakukannya!"
"Kau akan kehilangan uangmu," kata Holmes tenang, "karena aku sendiri yang menulis artikel itu."
"Kau!"
"Ya, aku sudah berpengalaman dalam hal pengamatan dan deduksi.
Teori-teori yang kujelaskan di sana, yang bagimu tampak tidak masuk
akal, sebenarnya sangat praktis—begitu praktis hingga aku
mengandalkannya untuk mencari nafkah."
"Bagaimana caranya?" tanyaku tanpa sadar.
"Aku memiliki profesi yang unik, bahkan mungkin satu-satunya di dunia.
Aku adalah detektif konsultan, kalau kau bisa memahami apa itu. Di
London ada banyak detektif polisi dan detektif swasta. Bilamana
orang-orang ini menemui jalan buntu, mereka datang menemuiku, dan aku
berhasil membawa mereka ke jejak yang benar. Mereka menyajikan semua
bukti kepadaku, dan biasanya aku mampu, dengan bantuan pengetahuanku
tentang sejarah kejahatan, untuk memecahkan kasusnya. Ada banyak
kemiripan dalam kasus-kasus kejahatan, dan kalau kau memiliki rinciannya
hingga seribu kasus, aneh sekali jika kau tidak bisa mengungkapkan
kasus ke-1001. Mr. Lestrade yang pernah kautemui adalah detektif polisi
yang cukup terkenal. Waktu itu dia datang untuk meminta bantuanku dalam
memecahkan kasus penipuan."
"Dan orang-orang lainnya?"
Sebagian besar dikirim oleh penyelidik swasta. Mereka semua orang-orang
yang sedang menghadapi masalah dan ingin mendapat penjelasan. Aku
mendengarkan cerita mereka, mereka medengarkan komentar-komentarku, lalu
aku mengantongi upahku."
"Maksudmu," tegasku, "tanpa meninggalkan kamarmu kau bisa mengungkap
teka-teki yang tak bisa diungkapkan orang lain, sekalipun mereka sendiri
sudah melihat setiap rinciannya?"
"Kurang-lebih begitu. Aku memiliki semacam intuisi dalam hal ini.
Sesekali ada kasus yang sedikit lebih rumit. Kalau begitu aku terpaksa
keluar dan melihat situasinya dengan mata kepalaku sendiri. Kau tahu aku
memiliki pengetahuan-pengetahuan khusus, dan semua itu sangat membantu
dalam pekerjaanku. Ilmu deduksi dalam artikel yang memicu kejengkelanmu
itu bagiku sangat berharga dalam praktek. Mengamati orang sepertinya
sudah merupakan sesuatu yang kulakukan secara otomatis. Kauingat ketika
kita pertama kali bertemu dan kukatakan kau datang dari Afghanistan?"
"Pasti ada yang memberitahumu."
"Tidak. Aku tahu kau datang dari Afghanistan. Kebiasaan yang sudah
mendarah daging membuatku langsung mencapai kesimpulan itu tanpa
mengikuti langkah demi langkah secara sadar. Tapi langkah-langkah itu
ada. Coba perhatikan apa yang terlintas dalam pikiranku, 'Ini seseorang
yang bertipe medis, tapi dengan pembawaan militer. Jelas dia dokter
Angkatan Darat. Wajah dan kulitnya kecokelatan, berarti dia datang dari
daerah tropis. Dia sudah melewati pengalaman yang keras dan menderita
sakit, itu tampak dari ekspresi wajahnya. Lengan kirinya pernah terluka
karena posisinya kaku dan tidak wajar. Di kawasan tropis mana seorang
dokter Angkatan Darat Inggris mengalami kekerasan dan terluka lengannya?
Jelas di Afghanistan.' Seluruh pemikiran itu memakan waktu tidak sampai
sedetik. Aku lalu berkomentar bahwa kau datang dari Afghanistan, dan
kau tertegun."
"Cukup sederhana kalau mendengar penjelasanmu," kataku tersenyum. "Kau
mengingatkan aku pada Dupin, detektif rekaan Edgar Allan Poe. Aku tak
pernah menduga orang seperti itu benar-benar ada dalam kehidupan nyata."
Holmes beranjak bangkit dan menyulut pipanya. "Kau pasti menduga aku
tersanjung karena disamakan dengan Dupin, tapi bagiku Dupin itu bukan
apa-apa. Trik yang biasa dilakukannya, yaitu mengungkap pikiran orang
dengan komentar tajam setelah berdiam diri selama seperempat jam,
menurutku sangat pamer dan berlebihan.
Dia memiliki kemampuan menganalisis yang cukup bagus, itu kuakui, tapi dia sebenarnya tak sehebat yang dibayangkan Poe."
"Kau pernah membaca karya-karya Gaboriau?" tanyaku. "Apa menurutmu Lecoq cukup hebat sebagai detektif?"
Holmes mendengus sinis. "Lecoq cuma pembual yang payah," katanya dengan
nada marah. "Hanya ada satu hal yang layak dipuji darinya, yaitu
semangatnya. Buku itu jelas membuatku muak. Lecoq perlu waktu enam bulan
untuk mengidentifikasi seorang tawanan yang tidak dikenal. Aku bisa
melakukannya dalam 24 jam. Bukannya menjadi panduan untuk para detektif,
buku ini justru mengajar mereka tentang hal-hal yang harus mereka
hindari."
Jengkel karena Holmes mencela kedua tokoh yang kukagumi, aku melangkah
ke jendela dan berdiri memandang ke jalan yang ramai. Orang ini mungkin
pandai, kataku dalam hati, tapi dia sangat sombong!
"Akhir-akhir ini tak ada kejahatan yang seru," keluh Holmes. "Apa
gunanya kami para detektif memiliki otak? Aku tahu aku memiliki
kemahiran dan pengetahuan yang akan membuatku terkenal, tapi tidak ada
kasus kejahatan yang layak untuk diselidiki. Kasus-kasus yang ada begitu
gamblang sehingga detektif Scotland Yard pun bisa memecahkannya." Aku
makin jengkel dengan kesombongan Holmes. Aku sengaja mengalihkan topik
pembicaraan.
"Apa kira-kira yang dicari orang itu, ya?" ujarku, menunjuk pria
berpakaian biasa yang tengah berjalan perlahan-lahan di seberang jalan,
memeriksa nomor-nomor rumah dengan gelisah. Ia membawa amplop biru besar
yang tampaknya berisi surat.
"Maksudmu pensiunan sersan Marinir itu?" kata Holmes.
Sembarangan saja dia bicara! aku membatin. Dia tahu aku tidak bisa mengkonfirmasi tebakannya.
Pikiran tersebut belum lagi meninggalkan benakku sewaktu pria yang
tengah kami awasi melihat nomor di pintu kami, dan berlari
secepat-cepatnya menyeberangi jalan. Kami mendengar ketukan keras, suara
berat seorang pria di bawah, dan langkah-langkah kaki menaiki tangga.
"Untuk Mr. Sherlock Holmes," kata pria itu sambil melangkah masuk ke
ruang duduk kami dan mengulurkan sepucuk surat kepada temanku.
Ini kesempatanku untuk membuktikan omong kosong Sherlock Holmes dan
mengakhiri kesombongannya. "Boleh aku bertanya?" kataku dengan suara
datar. "Apa pekerjaanmu?"
"Pembantu umum di kantor polisi, Sir," jawabnya dengan suara serak. "Seragam saya sedang dibetulkan."
"Dan sebelum ini?" tanyaku lagi, sambil melontarkan tatapan tajam ke arah rekan serumahku.
"Sersan, Sir, Royal Marine Light Infantry, Sir. Tidak ada jawaban untuk
suratnya? Baik, Sir." Ia mengentakkan kedua tumit sepatunya, mengangkat
tangan memberi hormat, dan berlalu.
Bab 3 : Misteri di Lauriston Gardens
Kuakui bahwa aku sangat terkejut
mendapatkan bukti baru akan kepraktisan teori-teori Sherlock Holmes.
Respekku terhadap kemampuan menganalisisnya meningkat pesat. Tapi aku
masih merasa curiga kalau seluruh kejadian ini merupakan rekayasa
belaka, sengaja direncanakan untuk membuatku kagum. Aku memperhatikan
Holmes yang telah selesai membaca surat itu dan tampaknya tenggelam
dalam pikirannya sendiri.
"Dari mana kau bisa menduganya?" tanyaku.
"Menduga apa?" tanya Holmes, jengkel karena diganggu.
"Bahwa dia pensiunan sersan Marinir."
"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan perkara sepele," tukasnya. "Maafkan kekasaranku," katanya kemudian. "Kau menerobos rangkaian pikiranku, tapi mungkin ada baiknya. Jadi kau benar-benar tidak bisa melihat kalau pria itu sersan Marinir?"
"Tidak, sungguh."
Lebih mudah untuk mengetahuinya daripada menjelaskannya. Kau juga akan mengalami kesulitan kalau diminta membuktikan dua tambah dua sama dengan empat, bukan? Tapi baiklah akan kucoba. Dari seberang jalan saja aku sudah bisa melihat tato jangkar biru besar di punggung tangan orang itu. Itu berarti dia seorang pelaut. Pembawaannya khas militer, begitu juga potongan cambang dan jenggotnya. Dari situ kita menyimpulkan bahwa dia Marinir. Sikapnya yang berwibawa dan penuh percaya diri menunjukkan rahwa dirinya cukup penting; lihat saja cara dia menegakkan kepala dan mengayunkan tongkat. Semua ciri itu membuatku yakin bahwa dia pensiunan sersan Marinir."
"Luar biasa!" seruku.
"Biasa saja," kata Holmes, meskipun kulihat wajahnya memancarkan perasaan senang. "Nah, tadi kukatakan tak ada kasus kejahatan yang layak diselidiki. Rupanya aku keliru... lihat ini!" Ia melemparkan surat yang dibawa pensiunan sersan tadi.
"Astaga!" seruku, saat membaca surat itu sekilas. "Ini mengerikan!"
"Memang tidak bisa dikatakan biasa," kata Holmes tenang. "Tolong bacakan surat itu keras-keras."
Inilah surat yang kubacakan untuk Holmes:
"Dari mana kau bisa menduganya?" tanyaku.
"Menduga apa?" tanya Holmes, jengkel karena diganggu.
"Bahwa dia pensiunan sersan Marinir."
"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan perkara sepele," tukasnya. "Maafkan kekasaranku," katanya kemudian. "Kau menerobos rangkaian pikiranku, tapi mungkin ada baiknya. Jadi kau benar-benar tidak bisa melihat kalau pria itu sersan Marinir?"
"Tidak, sungguh."
Lebih mudah untuk mengetahuinya daripada menjelaskannya. Kau juga akan mengalami kesulitan kalau diminta membuktikan dua tambah dua sama dengan empat, bukan? Tapi baiklah akan kucoba. Dari seberang jalan saja aku sudah bisa melihat tato jangkar biru besar di punggung tangan orang itu. Itu berarti dia seorang pelaut. Pembawaannya khas militer, begitu juga potongan cambang dan jenggotnya. Dari situ kita menyimpulkan bahwa dia Marinir. Sikapnya yang berwibawa dan penuh percaya diri menunjukkan rahwa dirinya cukup penting; lihat saja cara dia menegakkan kepala dan mengayunkan tongkat. Semua ciri itu membuatku yakin bahwa dia pensiunan sersan Marinir."
"Luar biasa!" seruku.
"Biasa saja," kata Holmes, meskipun kulihat wajahnya memancarkan perasaan senang. "Nah, tadi kukatakan tak ada kasus kejahatan yang layak diselidiki. Rupanya aku keliru... lihat ini!" Ia melemparkan surat yang dibawa pensiunan sersan tadi.
"Astaga!" seruku, saat membaca surat itu sekilas. "Ini mengerikan!"
"Memang tidak bisa dikatakan biasa," kata Holmes tenang. "Tolong bacakan surat itu keras-keras."
Inilah surat yang kubacakan untuk Holmes:
"Mr. Sherlock Holmes yang baik,
Kejadian aneh terjadi semalam di Lauriston Gardens No. 3, tak jauh dari
Brixton Road. Petugas kami di kawasan itu melihat cahaya di rumah
tersebut sekitar pukul dua pagi, dan karena ia tahu rumah itu kosong, ia
lalu menduga kalau ada yang tidak beres. Ia pergi ke rumah itu dan
mendapati pintunya tak terkunci, dan di ruang makan yang kosong, ia
menemukan mayat seorang pria. Pria itu berpakaian bagus, disakunya ada
kartu nama bertulisan Enoch J. Drebber, Cleveland, Ohio, U.S.A. Tidak
ada tanda-tanda perampokan, dan tidak ada bukti sama sekali bagaimana
pria ini tewas. Di ruangan itu terdapat noda-noda darah, tapi di tubuh
pria ini tidak ada luka sedikit pun. Kami benar-benar bingung. Bagaimana
korban bisa berada di rumah kosong dan menemui ajalnya di sana? Kalau
kau sempat, datanglah ke Lauriston Gardens No. 3 sebelum pukul dua
belas, dan kita bisa bertemu. Aku sudah memerintahkan agar TKP tidak
disentuh sebelum kami mendapat kabar darimu. Jika kau tidak bisa datang,
akan kuberitahukan rincian lebih lanjut, dan kuhargai kebaikanmu untuk
menyampaikan pendapatmu padaku.
Salam,
Tobias Gregson."
"Gregson detektif yang paling cerdas di scotland Yard," kata Holmes.
"Dia dan Lestrade merupakan yang terbaik di antara kumpulan orang bodoh
itu. Mereka berdua sigap dan tapi terlalu konvensional. Mereka juga
saling membenci. Mereka iri terhadap satu sama lain. Bakalan seru kalau
mereka berdua ditugaskan menanganinya."
Aku terpukau melihat ketenangan Holmes dalam menyampaikan semua ini.
"Kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu," selaku. "Kupanggilkan taksi
sekarang?"
"Aku belum memutuskan akan ke sana. Aku paling malas bepergian... meskipun kalau sedang mood, aku bisa sangat bersemangat."
"Bukankah ini kesempatan yang kaunanti-nantikan?" desakku.
"Temanku yang baik, apa gunanya bagiku? Seandainya aku mengungkapkan
masalah ini, kau boleh yakin bahwa Gregson, Lestrade, dan rekan-rekan
mereka yang akan mendapat pujian. Itulah masalahnya menjadi petugas
tidak resmi."
"Tapi Gregson meminta bantuanmu."
"Dia sadar kalau aku lebih unggul, dan itu diakuinya padaku. Tapi dia
lebih rela memotong lidahnya sendiri daripada mengatakan hal ini kepada
orang lain. Namun baiklah, mungkin sebaiknya kita ke sana melihat-lihat
keadaan. Aku akan menyelidikinya dengan caraku sendiri. Paling tidak,
aku bisa menertawakan mereka. Ayo!"
Holmes bergegas mengenakan mantel luarnya, kelihatannya semangatnya mulai timbul. "Ambil topimu," katanya. "Kau ingin aku ikut?"
"Ya, kalau kau tidak punya kesibukan lain."
Semenit kemudian kami berdua telah berada di dalam kereta kuda, berpacu menuju Brixton Road.
Cuaca pagi itu berkabut dan berawan, atap-atap rumah diselubungi kabut
tebal berwarna cokelat lumpur seperti jalanan di bawahnya. Holmes tampak
sangat bersemangat, ia berceloteh tentang biola Cremona serta perbedaan
antara biola Stradivarius dan Amati. Sedangkan aku berdiam diri saja,
karena pengaruh cuaca yang muram dan urusan yang hendak kami selesaikan.
"Kau tampaknya tidak terlalu memikirkan masalah ini," kataku akhirnya, menyela ceramah Holmes tentang musik.
"Belum ada datanya," kilah Holmes. "Salah besar untuk menyusun teori
sebelum kau men-dapatkan semua bukti. Itu mempengaruhi penilaian."
"Sebentar lagi kau akan mendapatkan datanya," kataku sambil menunjuk.
"Ini Brixton Road, dan itu rumahnya, kalau aku tidak keliru."
"Benar. Berhenti, Kusir, berhenti!"
Kami masih sekitar seratus meter dari rumah itu. tapi Holmes bersikeras
untuk menghentikan kereta. Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan
kaki.
Lauriston Gardens No. 3 tampak suram dan menakutkan. Di lingkungan itu
ada tiga rumah lain, dua di antaranya berpenghuni dan yang satu lagi
kosong. Rumah kosong itu memiliki tiga jendela yang menghadap ke depan,
pada kacanya tertempel tulisan "Disewakan". Taman kecil yang telantar
membatasi rumah-rumah itu dengan jalan raya, sementara di lingkungan itu
sendiri jalanannya sempit dan tampaknya terbuat dari tanah liat serta
kerikil. Jalanan dan rumah-rumah di situ semuanya basah akibat hujan
yang turun semalam.
Taman kecil itu dikelilingi dinding bata setinggi saru meter dengan
pagar kayu di bagian atasnya. Seorang polisi tengah bersandar di dinding
ini, sementara sekelompok orang yang ingin tahu menjulurkan leher untuk
melihat kejadian di dalam rumah.
Tadinya kubayangkan Sherlock Holmes akan seketika bergegas memasuki
rumah dan menyelidiki misteri tersebut. Ternyata aku keliru. Dengan acuh
tak acuh, temanku itu malah menyusuri halaman dan dengan pandangan
kosong menatap tanah, langit, rumah-rumah di seberang, serta jajaran
pagar. Setelah itu ia perlahan-lahan menyusuri jalan setapak, atau lebih
tepatnya, menyusuri rerumputan yang memagari jalan setapak, dengan
pandangan terpaku ke tanah. Dua kali ia berhenti, dan sekali kulihat ia
tersenyum, lalu berseru penuh kepuasan. Ada banyak jejak kaki di tanah
basah tersebut, tapi karena polisi telah berkeliaran di sana, aku tidak
tahu bagaimana temanku berharap dapat mempelajari sesuatu dari sana.
Sekalipun begitu, aku telah mendapat bukti akan kemampuan persepsinya
yang luar biasa, sehingga aku tidak ragu bahwa ia mampu melihat banyak
hal yang tersembunyi dariku.
Di pintu rumah No. 3 kami disambut oleh pria jangkung berwajah pucat
dengan rambut kemerahan. Pria itu bergegas mendekat dan menjabat tangan
temanku dengan penuh semangat.
"Baik sekali kau mau datang," katanya. "Semua yang ada di situ sama sekali belum disentuh."
"Kecuali itu!" tukas temanku sambil menunjuk ke jalan. "Andai ada
serombongan kerbau yang melintas, keadaannya mungkin masih lebih rapi
daripada sekarang. Tapi aku yakin, Gregson, kau pasti sudah memeriksa
jalan itu sebelum mengizinkan mereka mengobrak-abriknya."
"Banyak yang hams kulakukan di dalam rumah," kilah detektif itu.
"Kolegaku, Mr. Lestrade, ada di sini. Aku mengandalkannya untuk menjaga
TKP".
Holmes melirikku dan mengangkat alis dengan sikap sinis. "Dengan dua
orang seperti kau dan Lestrade di sini, tidak banyak yang bisa ditemukan
pihak ketiga," katanya.
Gregson menggosok-gosok tangannya dengan sikap puas. "Kupikir kami sudah
melakukan semua yang bisa dilakukan, tapi kasus ini aneh, dan aku tahu
kau berminat pada kasus-kasus seperti ini."
"Kau tidak datang kemari dengan kereta?" tanya Holmes.
"Tidak."
"Lestrade juga tidak?"
"Tidak."
"Kalau begitu, ayo kita lihat TKP-nya." Holmes masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gregson yang tampak bingung.
Sebuah lorong pendek berlantai papan yang berdebu membawa kami ke dapur
dan ruangan belakang. Di sana terdapat dua pintu, di sebelah kiri dan
kanan. Salah satu jelas tak pernah dibuka selama berminggu-minggu. Pintu
yang lain menuju ke ruang makan, tempat terjadinya peristiwa misterius
itu. Holmes melangkah masuk, dan aku mengikutinya dengan perasaan galau
yang biasa ditimbulkan oleh peristiwa kematian.
Ruang makan tersebut berbentuk bujur sangkar dan cukup besar, bahkan
terkesan lebih besar karena tidak adanya perabotan. Dindingnya dilapisi
kertas dinding berwarna mencolok, beberapa bagian dikotori gumpalan debu
dan sarang labah-labah, ada pula yang tercabik menampilkan lapisan
semen kekuningan di bawahnya. Di seberang pintu terdapat perapian dengan
rak mariner putih imitasi. Di salah satu sudutnya terdapat puntung
lilin merah. Satu-satunya jendela yang ada di ruangan itu begitu kotor
sehingga cahaya dalam ruangan hanya samar-samar, mengesankan warna
kelabu pada seluruh ruangan.
Semua rincian ini baru belakangan kuamati. Saat ini, perhatianku
terpusat pada sosok yang telentang tidak bergerak di lantai papan,
dengan mata kosong menatap langit-langit yang telah berubah warna. Sosok
tersebut adalah mayat seorang pria berusia 43 atau 44 tahun,
berperawakan sedang dan berbahu lebar, berambut hitam keriting dan
berjanggut pendek. Pria itu mengenakan mantel luar panjang yang tebal
dan mantel dalam sepinggang dengan celana panjang berwarna cerah. Sebuah
topi tinggi yang tersikat rapi tergeletak di lantai di sampingnya.
Tangan mayat itu mengepal dan lengannya membentang, sementara kakinya
saling mengait, seakan-akan perjuangannya menghadapi kematian sangatlah
hebat. Wajahnya yang kaku memancarkan ekspresi ngeri dan kebencian yang
baru kali ini kujumpai pada wajah manusia. Kerutan kejam dan menakutkan
tersebut, dikombinasikan dengan kening yang rendah, hidung yang
menggembung, dan rahang yang kaku, menyebabkan mayat tersebut tampak
mirip kera. Aku telah melihat kematian dalam banyak bentuk, tapi tidak
ada yang lebih menakutkan daripada yang kutemui di apartemen gelap ini.
Lestrade yang berjaga di ambang pintu menyapa Holmes dan aku.
"Kasus ini akan menimbulkan kehebohan, Sir," katanya. "Aku belum pernah
melihat peristiwa yang semengerikan ini, padahal aku bukan penakut."
"Tidak ada petunjuk?" tanya Gregson.
"Tidak sama sekali," jawab Lestrade. Holmes mendekati mayat itu,
berlutut, dan memeriksanya dengan teliti. "Kalian yakin tidak ada luka?"
tanyanya, menunjuk noda darah yang terdapat di mana-mana.
"Yakin!" seru kedua detektif itu.
"Kalau begitu, darah ini milik orang kedua — pembunuhnya, kalau
peristiwa ini dianggap sebagai pembunuhan. Situasi di sini mirip dengan
situasi pada saat kematian Van Jansen, di Utrecht, tahun '34. Kauingat
kasus itu, Gregson?"
"Tidak, Sir."
"Baca dan pelajarilah. Tidak ada yang baru di dunia ini. Semuanya sudah pernah dilakukan sebelumnya."
Sambil bicara, Holmes sibuk meraba-raba mayat itu, menekan, membuka
kancing, memeriksa, sementara pandangannya menerawang. Begitu cepat
pemeriksaannya, sehingga sulit untuk menebak ketelitiannya. Akhirnya,
Holmes mengendus bibir mayat itu lalu melirik sol-sol sepatu bot
kulitnya.
"Dia tidak digerakkan sama sekali?" tanyanya.
"Digerakkan sedikit, hanya sebatas yang di-perlukan untuk pemeriksaan kami."
"Kalian bisa membawanya ke kamar mayat sekarang," kata Holmes. "Tidak ada lagi yang bisa dipelajari."
Gregson telah menyiapkan sebuah tandu dan empat orang. Begitu ia
memanggil, mereka masuk ke dalam ruangan, dan mayat pun itu dibawa
pergi. Sewaktu mereka mengangkatnya, sebuah cincin bergulir jatuh dan
menggelinding di lantai. Lestrade menyambarnya dan menatapnya dengan
kebingungan.
"Ada wanita di sini," serunya. "Ini cincin pernikahan wanita."
Lestrade mengacungkan cincin itu dan kami semua ikut memperhatikannya.
Tak diragukan lagi bahwa lingkaran emas polos itu tadinya berada di jari
seorang pengantin wanita.
"Ini memperumit masalah," kata Gregson. "Tuhan tahu kalau masalah ini sudah cukup rumit sebelumnya."
"Kau yakin cincin ini bukannya justru menyederhanakan masalah?" tanya
Holmes. "Tak ada yang bisa dipelajari dengan hanya menatapnya. Apa yang
kautemukan di saku mayat itu?"
"Ada di sini semuanya," jawab Gregson, menunjuk berbagai benda yang ada
di anak tangga terbawah. "Arloji emas, No. 97163, buatan Barraud,
London. Rantai emas buatan Albert, sangat berat dan kokoh. Cincin emas,
penjepit emas berkepala bulldog dengan mata batu rubi. Tempat kartu nama
buatan Rusia, dengan kartu-kartu nama Enoch J. Drebber dari Cleveland.
Ini cocok dengan inisial E.J.D. pada pakaiannya. Tak ditemukan dompet,
tapi ada uang sebanyak tujuh pound tiga belas penny. Buku saku Decameron
karya Boccaccio dengan nama Joseph Stangerson di halaman dalamnya. Dua
surat—yang satu ditujukan kepada E.J. Drebber dan satu lagi kepada
Joseph Stangerson."
"Alamatnya?"
"American Exchange, Strand—untuk disimpan diambil. Keduanya dari Guion
Steamship Company dan berisi data pelayaran kapal mereka dari Liverpool.
Jelas bahwa pria yang malang ini bermaksud kembali ke New York."
"Kau sudah mengadakan penyelidikan tentang orang bernama Stangerson ini?"
"Aku langsung melakukannya, Sir," kata "Aku sudah memasang iklan di
semua koran dan mengutus seorang anak buahku untuk pergi ke American
Exchange, tapi dia belum kembali."
"Kau sudah mengirim kabar ke kepolisian Cleveland?"
"Kami mengirim telegram tadi pagi."
"Bagaimana bunyinya?"
"Kami menceritakan situasinya, dan mengatakan bahwa kami akan senang
seandainya mereka memiliki informasi yang dapat membantu kami."
"Kau tidak merinci, apa tepatnya yang ingin kauketahui?"
"Aku bertanya tentang Stangerson."
"Tidak ada lagi? Kau tidak menanyakan sesuatu yang sebenarnya sangat
penting untuk kasus ini? Kau tidak mau mengirim telegram lagi?"
"Aku sudah mengatakan semua yang harus kukatakan," kata Gregson dengan nada tersinggung.
Holmes berdecak, dan tampaknya hendak berkomentar, sewaktu Lestrade,
yang berada di ruang makan sewaktu kami bercakap-cakap di lorong, muncul
sambil menggosok-gosok tangannya dengan sikap sok dan puas diri.
"Mr. Gregson," katanya, "aku baru saja menemukan sesuatu yang sangat
penting. Penemuan ini pasti sudah terlewatkan, kalau aku tidak memeriksa
dinding-dinding dengan hati-hati."
Mata pria kecil itu berkilau-kilau saat ia berbicara, dan ia jelas
tengah menahan kegembiraannya karena berhasil menang satu langkah dari
koleganya.
"Ayo ikut," katanya, bergegas masuk ke ruang makan yang suasananya sudah
sedikit lebih cerah setelah mayat korban disingkirkan. "Sekarang,
berdirilah di sana!"
Lestrade menyulut korek api pada sepatu botnya dan mengacungkannya di depan dinding.
"Lihat itu!" katanya dengan penuh kemenangan.
Sebelum ini aku telah menerangkan bahwa kertas pelapis dinding ruang
makan sebagian robek. Di sudut ruangan yang ini secabik besar kertas
dindingnya telah terkelupas, menyisakan semen kekuningan kasar berbentuk
persegi. Di tempat kosong ini, dengan huruf-huruf merah darah,
tertulis...
Rache
"Apa pendapat kalian?" seru Lestrade, dengan sikap seorang tukang sulap
yang tengah memamerkan hasil kerjanya. "Ini terlewatkan karena berada di
sudut tergelap ruangan, dan tak ada seorang pun yang berpikir untuk
memeriksa di sini. Sang pembunuh menulis kata ini dengan darahnya
sendiri. Lihat tetesan yang mengotori dinding ini! Dengan demikian,
kasus ini jelas bukan kasus bunuh diri. Kenapa sudut ini yang dipilih?
Akan kujelaskan. Kalian lihat lilin di rak perapian? Lilin itu menyala
sewaktu peristiwa ini terjadi, dan sudut ini merupakan bagian yang
paling terang di dinding."
"Dan apa arti kata itu, sesudah kau menemukannya?" tanya Gregson dengan nada merendahkan.
"Artinya? Jelas ini berarti penulisnya hendak menuliskan nama seorang wanita, Rachel, tapi ia terganggu sebelum sempat menyelesaikannya. Camkan kata-kataku, pada saat kasus ini terbongkar, kalian akan menemukan keterlibatan wanita bernama Rachel. Silakan tertawa, Mr. Sherlock Holmes. Kau mungkin sangat cerdik dan pandai, tapi detektif yang berpengalaman akan terbukti paling baik."
"Aku benar-benar minta maaf!" kata temanku. "Kau patut dipuji sebagai orang pertama yang menemukan tulisan itu. Benar kesimpulanmu bahwa kata ini ditulis oleh tokoh kedua dalam misteri semalam. Aku belum sempat memeriksa ruangan ini, tapi dengan seizinmu, aku akan memeriksanya sekarang."
Holmes mengeluarkan pita pengukur dan kaca pembesar dari sakunya. Dengan kedua alat ini ia berkeliaran tanpa suara di ruangan tersebut, terkadang berhenti, sesekali berlutut, dan sekali bahkan menelungkup. Ia begitu tenggelam dalam kesibukannya sehingga tampak melupakan kehadiran kami. Ia berceloteh pelan sendiri sepanjang waktu, melontarkan serangkaian seruan, erangan, siulan. Saat mengawasinya, aku jadi teringat pada anjing pemburu rubah yang sangat terlatih. yang melesat ke sana kemari, merengek penuh semangat, hingga menemukan bau yang dicari. Selama sekitar dua puluh menit Holmes meneliti, mengukur dengan sangat hati-hati jarak antara tanda-tanda yang sama sekali tidak terlihat olehku, juga mengukur dinding dengan sikap yang sama misteriusnya. Di satu tempat, dengan hati-hati ia mengumpulkan sedebu kelabu dari lantai dan memasukkannya ke dalam amplop. Akhirnya, ia memeriksa tulisan di dinding dengan kaca pembesar, mempelajari setiap huruf dengan ketepatan yang luar. Setelah selesai ia tampak puas, karena ia mengantongi kembali pita pengukur dan kaca pembesarnya.
"Orang bilang, kejeniusan adalah kemampuan yang tak terbatas untuk melakukan segala sesuatu dengan sangat teliti. Ini bukan definisi yang tapi bisa diterapkan dalam pekerjaan detektif."
Gregson dan Lestrade mengawasi tindakan rekan amatir mereka dengan rasa penasaran dan kejengkelan yang mencolok. Mereka jelas tidak bisa menghargai fakta yang mulai kusadari, bahwa tindakan terkecil Sherlock Holmes ditujukan ke arah yang pasti dan praktis.
"Apa pendapatmu, Sir?" tanya mereka berdua.
"Aku akan dianggap merampok kesempatan kalau aku mempengaruhi penyelidikan kalian," kata temanku. "Kalian sudah bekerja dengan sangat baik, sehingga sayang kalau ada orang luar yang turut campur." Aku menangkap nada sinis dalam suara Holmes saat ia berbicara. "Kalau kalian mau memberitahukan perkembangan penyelidikan kalian, dengan senang hati akan kubantu sebisa mungkin. Sementara itu, aku ingin bicara dengan petugas yang menemukan mayat korban. Kalian bisa memberikan nama dan alamatnya?"
Lestrade melirik buku catatannya. "John Rance," katanya. "Dia sedang bebas tugas sekarang. Kau bisa menemukannya di Audley Court No. 46, Kennington Park Gate."
Holmes mencatat alamat tersebut.
"Ayo, Dokter," katanya padaku, "kita harus menemui orang ini. Omong-omong, akan kuberitahukan satu hal yang bisa membantu memecahkan kasus ini," katanya kepada kedua detektif. "Memang sudah terjadi pembunuhan, dan pembunuhnya seorang pria. Tinggi pria itu lebih dari 180 sentimeter, usianya tak lebih dari empat puluh, telapak kakinya terlalu kecil dibandingkan dengan tingginya. Ia mengenakan sepatu bot kasar berujung persegi dan mengisap cerutu Trichinopoly. Ia datang kemari dengan korban menggunakan kereta beroda empat, yang ditarik ekor kuda dengan tiga ladam tua dan satu yang masih baru di kaki depannya. Kemungkinan pembunuh ini berjanggut dan berkumis, kuku jari tangan kanannya sangat panjang. Itu hanya beberapa indikasi, tapi mungkin bisa membantu kalian".
Lestrade dan Gregson bertukar pandang sambil tersenyum tak percaya.
"Kalau orang ini dibunuh, bagaimana caranya?" tanya Lestrade.
"Racun," jawab Holmes singkat sambil melangkah ke luar. "Satu hal lagi, Lestrade," tambahnya, berbalik di pintu, "'Rache' adalah kata Jerman untuk pembalasan, jadi jangan membuang-buang waktumu dengan mencari Miss Rachel."
Holmes berlalu setelah mengatakan itu, meninggalkan kedua rivalnya yang ternganga keheranan.
"Dan apa arti kata itu, sesudah kau menemukannya?" tanya Gregson dengan nada merendahkan.
"Artinya? Jelas ini berarti penulisnya hendak menuliskan nama seorang wanita, Rachel, tapi ia terganggu sebelum sempat menyelesaikannya. Camkan kata-kataku, pada saat kasus ini terbongkar, kalian akan menemukan keterlibatan wanita bernama Rachel. Silakan tertawa, Mr. Sherlock Holmes. Kau mungkin sangat cerdik dan pandai, tapi detektif yang berpengalaman akan terbukti paling baik."
"Aku benar-benar minta maaf!" kata temanku. "Kau patut dipuji sebagai orang pertama yang menemukan tulisan itu. Benar kesimpulanmu bahwa kata ini ditulis oleh tokoh kedua dalam misteri semalam. Aku belum sempat memeriksa ruangan ini, tapi dengan seizinmu, aku akan memeriksanya sekarang."
Holmes mengeluarkan pita pengukur dan kaca pembesar dari sakunya. Dengan kedua alat ini ia berkeliaran tanpa suara di ruangan tersebut, terkadang berhenti, sesekali berlutut, dan sekali bahkan menelungkup. Ia begitu tenggelam dalam kesibukannya sehingga tampak melupakan kehadiran kami. Ia berceloteh pelan sendiri sepanjang waktu, melontarkan serangkaian seruan, erangan, siulan. Saat mengawasinya, aku jadi teringat pada anjing pemburu rubah yang sangat terlatih. yang melesat ke sana kemari, merengek penuh semangat, hingga menemukan bau yang dicari. Selama sekitar dua puluh menit Holmes meneliti, mengukur dengan sangat hati-hati jarak antara tanda-tanda yang sama sekali tidak terlihat olehku, juga mengukur dinding dengan sikap yang sama misteriusnya. Di satu tempat, dengan hati-hati ia mengumpulkan sedebu kelabu dari lantai dan memasukkannya ke dalam amplop. Akhirnya, ia memeriksa tulisan di dinding dengan kaca pembesar, mempelajari setiap huruf dengan ketepatan yang luar. Setelah selesai ia tampak puas, karena ia mengantongi kembali pita pengukur dan kaca pembesarnya.
"Orang bilang, kejeniusan adalah kemampuan yang tak terbatas untuk melakukan segala sesuatu dengan sangat teliti. Ini bukan definisi yang tapi bisa diterapkan dalam pekerjaan detektif."
Gregson dan Lestrade mengawasi tindakan rekan amatir mereka dengan rasa penasaran dan kejengkelan yang mencolok. Mereka jelas tidak bisa menghargai fakta yang mulai kusadari, bahwa tindakan terkecil Sherlock Holmes ditujukan ke arah yang pasti dan praktis.
"Apa pendapatmu, Sir?" tanya mereka berdua.
"Aku akan dianggap merampok kesempatan kalau aku mempengaruhi penyelidikan kalian," kata temanku. "Kalian sudah bekerja dengan sangat baik, sehingga sayang kalau ada orang luar yang turut campur." Aku menangkap nada sinis dalam suara Holmes saat ia berbicara. "Kalau kalian mau memberitahukan perkembangan penyelidikan kalian, dengan senang hati akan kubantu sebisa mungkin. Sementara itu, aku ingin bicara dengan petugas yang menemukan mayat korban. Kalian bisa memberikan nama dan alamatnya?"
Lestrade melirik buku catatannya. "John Rance," katanya. "Dia sedang bebas tugas sekarang. Kau bisa menemukannya di Audley Court No. 46, Kennington Park Gate."
Holmes mencatat alamat tersebut.
"Ayo, Dokter," katanya padaku, "kita harus menemui orang ini. Omong-omong, akan kuberitahukan satu hal yang bisa membantu memecahkan kasus ini," katanya kepada kedua detektif. "Memang sudah terjadi pembunuhan, dan pembunuhnya seorang pria. Tinggi pria itu lebih dari 180 sentimeter, usianya tak lebih dari empat puluh, telapak kakinya terlalu kecil dibandingkan dengan tingginya. Ia mengenakan sepatu bot kasar berujung persegi dan mengisap cerutu Trichinopoly. Ia datang kemari dengan korban menggunakan kereta beroda empat, yang ditarik ekor kuda dengan tiga ladam tua dan satu yang masih baru di kaki depannya. Kemungkinan pembunuh ini berjanggut dan berkumis, kuku jari tangan kanannya sangat panjang. Itu hanya beberapa indikasi, tapi mungkin bisa membantu kalian".
Lestrade dan Gregson bertukar pandang sambil tersenyum tak percaya.
"Kalau orang ini dibunuh, bagaimana caranya?" tanya Lestrade.
"Racun," jawab Holmes singkat sambil melangkah ke luar. "Satu hal lagi, Lestrade," tambahnya, berbalik di pintu, "'Rache' adalah kata Jerman untuk pembalasan, jadi jangan membuang-buang waktumu dengan mencari Miss Rachel."
Holmes berlalu setelah mengatakan itu, meninggalkan kedua rivalnya yang ternganga keheranan.
Bab 4 : Cerita John Rance
Saat
kami meninggalkan Lauriston Gardens No. 3, waktu telah menunjukkan
pukul satu siang. Sherlock Holmes mengajakku ke kantor telegram terdekat
dan mengirimkan sebuah telegram panjang. Setelah itu ia memanggil
taksi, memerintahkan kusirnya untuk membawa kami ke alamat yang
diberikan Lestrade.
"Tak ada
yang bisa mengalahkan bukti dari tangan pertama," kata Holmes.
"Sebenarnya ke-simpulanku sudah bulat mengenai kasus ini, tapi mungkin
ada baiknya kita mempelajari semua yang bisa dipelajari."
"Kau membuatku kagum, Holmes," kataku. "Benarkah kau sungguh-sungguh yakin tentang semua rincian yang kauberitahukan tadi?"
"Yakin
sekali," jawab Holmes. "Begini, hal pertama yang kulihat sewaktu tiba di
sana adalah dua jalur bekas roda kereta yang meninggalkan jejak cukup
dalam di tepi jalan. Hujan sudah seminggu tidak turun, jadi jejak roda
kereta itu pasti baru timbul semalam. Aku juga menemukan jejak-jejak
ladam kuda, yang satu lebih jelas dari tiga lainnya, menunjukkan bahwa
ladam itu masih baru. Karena jejak kereta itu timbul sesudah hujan turun
semalam, dan keretanya tadi pagi tidak ada di sana—Gregson yang
mengatakannya—jelas kereta itu datang pada malam hari. Berarti, kereta
itulah yang membawa kedua orang yang terlibat dalam misteri ini ke rumah
No 3."
"Tampaknya cukup sederhana," kataku, "tapi bagaimana dengan tinggi badan si pembunuh?"
Tinggi
seseorang, dalam sembilan dari sepuluh bisa diperkirakan dari jarak
langkahnya. Perhitungannya cukup mudah, tapi aku tak mau membuatmu bosan
dengan angka-angka. Pokoknya. aku menemukan jejak-jejak orang ini di
tanah liat di luar rumah dan pada debu di dalam rumah. Lalu aku
menghitung tingginya dengan caraku sendiri. Kebetulan, aku menemukan hal
lain untuk mengecek hitunganku. Pada saat seseorang menulis di dinding,
nalurinya menyebabkan ia menulis di atas ketinggian matanya sendiri.
Nah, jarak tulisan itu dari lantai adalah 180 sentimeter lebih sedikit.
Mudah, bukan?"
"Dan usianya?" tanyaku.
"Well, kalau
orang bisa melangkah sejauh 135 sentimeter tanpa susah payah, tak
mungkin usianya lebih dari empat puluh. Ada genangan lumpur di taman
tempat si pembunuh dan korban pernah melintas. Korban yang mengenakan
sepatu bot kulit mengitari genangan itu, tapi si pembunuh yang
mengenakan sepatu berujung persegi melompatinya. Jejak mereka tampak
jelas, tidak ada misteri dalam hal ini. Aku hanya menerapkan beberapa
rumus pengamatan dan deduksi yang kutuliskan dalam artikel majalah. Ada
lagi yang membingungkanmu?"
"Kuku jari dan Trichinopoly," kataku.
"Tulisan di
dinding dibuat dengan jari telunjuk orang itu yang dicelupkan ke dalam
darah. Lewat kaca pembesar kulihat lapisan semen di dindingnya agak
tergores. Ini berarti orang itu berkuku panjang. Debu yang kukumpulkan
dari lantai adalah abu cerutu Trichinopoly. Aku secara khusus pernah
mempelajari abu-abu cerutu, malah aku pernah menulis artikel tentang
itu. Aku mampu membedakan abu cerutu atau tembakau bermerek apa pun
hanya dengan sekali lihat. Dalam hal-hal seperti inilah detektif seperti
aku berbeda dengan detektif biasa seperti Gregson dan Lestrade."
"Dan soal wajah berjambang?" tanyaku.
"Ah, itu tebakan yang berani, sekalipun aku tidak ragu akan kebenarannya. Kau tidak boleh menanyakan itu sekarang."
Aku mengusap
alis. "Aku jadi pusing," kataku. "Semakin dipikir, kasus ini terasa
semakin misterius. Bagaimana kedua pria ini—kalau memang mereka berdua
pria—bisa masuk ke rumah kosong? Bagaimana dengan kusir yang mengantar?
Bagaimana seseorang bisa memaksa orang lain menelan racun? Dari mana
darahnya? Apa tujuan pembunuhan ini, karena ini jelas bukan perampokan?
Bagaimana bisa ada cincin wanita di sana? Di atas semua itu, kenapa
orang kedua menuliskan kata Jerman RACHE sebelum pergi? Kuakui bahwa aku
tidak mengerti bagaimana kita bisa menyatukan seluruh fakta ini."
Temanku tersenyum menyetujui.
"Kau sudah
menyimpulkan kesulitan-kesulitan situasi ini dengan cukup ringkas dan
baik," katanya. "Memang masih ada banyak ketidakjelasan, meskipun aku
sudah membulatkan pikiran tentang fakta-fakta utamanya. Sedang mengenai
penemuan Lestrade yang malang, itu hanya pengalih perhatian agar polisi
melacak jejak yang salah. Mungkin si pembunuh ingin memberikan indikasi
soal keterlibatan kaum sosialis Jerman dan organisasi rahasia. Tapi
jelas kata itu tak ditulis oleh orang Jerman. Huruf A-nya, kalau
kauperhatikan, sengaja ditulis agar mirip dengan gaya Jerman, padahal
orang Jerman sendiri tidak menuliskannya sampai begitu. Ya, kita boleh
yakin bahwa penulisnya bukan orang Jerman, melainkan seorang peniru yang
ceroboh dan berlebihan.
"Aku tidak
akan bercerita lebih jauh mengenai kasus ini, Dokter. Kau tahu seorang
pesulap tidak akan dihargai sesudah menjelaskan tipuannya, dan kalau
kutunjukkan terlalu banyak metode kerjaku kepadamu, kau akan
menyimpulkan bahwa aku orang yang sangat biasa."
"Aku tidak akan berpikir begitu," kataku. "Kau orang pertama yang membuat ilmu deduksi begitu gamblang seperti ilmu eksakta."
Wajah
Sherlock Holmes memerah mendengar pujianku. Kuperhatikan ia memang
sangat peka terhadap pujian atas kemampuannya sebagaimana gadis-gadis
atas kecantikan mereka.
"Akan
kuberitahukan satu hal lain," ujar Holmes. "Korban dan pelaku datang
dengan menggunakan kereta yang sama. Mereka berjalan menyusuri jalan
setapak bersama-sama dengan sikap akrab—mungkin malah bergandengan
tangan. Setelah tiba di dalam, mereka mondar-mandir dalam ruangan—atau
tepatnya, korban berdiri diam sementara pelaku mondar-mandir. Aku bisa
membaca semuanya dari jejak sepatu mereka. Dari cara berjalannya,
kulihat pelaku makin lama makin bersemangat. Langkah kakinya makin lama
makin lebar. Ia mondar-mandir sambil terus berbicara sampai amarahnya
meledak dan pembunuhan itu terjadi. Nah, sudah kuceritakan semua yang
kuketahui, sedangkan sisanya hanyalah pelengkap. Dengan landasan kerja
yang bagus itu, mari kita bergegas, karena aku ingin menonton konser
Norman Neruda sore ini."
Percakapan
tersebut berlangsung saat taksi yang kami tumpangi tengah melaju
melintasi serangkaian lorong serta jalan yang remang-remang dan suram.
Di jalan yang paling gelap, kusir kami tiba-tiba menghentikan kereta.
"Audley Court di sebelah sana," katanya, menunjuk celah sempit di
jajaran bata berwarna gelap. "Akan kutunggu kalian di sini."
Audley Court
bukanlah tempat yang menarik. Lorong sempit itu membawa kami ke
lapangan kecil yang dikelilingi perumahan kumuh. Kami melewati
segerombolan anak yang kotor dan dekil, melewati jajaran seprai yang
telah luntur, hingga tiba di Nomor 46. Pintu rumah itu dihiasi sekeping
kecil kuningan dengan ukiran nama Rance. Saat menanyakannya, kami
diberitahu banwa petugas tersebut sedang tidur, dan kami dipersilahkan
menunggu di ruang tamu kecil. .
Rance muncul tak lama kemudian, tampak jengkel karena tidurnya terganggu. "Aku sudah menyampaikan laporanku di kantor," katanya.
Holmes
mengambil sekeping koin emas dari sakunya dan memutar-mutarnya. "Kami
pikir, sebaiknya kami mendengarnya secara langsung darimu."
"Dengan senang hati akan kuceritakan semua yang kuketahui," kata Rance, matanya terus menatap uang emas itu.
"Ceritakan saja bagaimana kejadiannya.
"Rance duduk di sofa dan mengerutkan kening. seakan-akan membulatkan tekad untuk tidak melupakan apa pun dalam ceritanya.
"Akan
kuceritakan dari awal," ujarnya. "Tugasku dimulai pukul sepuluh malam
dan berakhir pukul enam pagi. Pada pukul sebelas ada perkelahian di
White Hart, bar yang biasanya cukup tenang di kawasan tempatku bertugas.
Pada pukul satu hujan turun, dan aku bertemu Harry Murcher. Dia
bertugas di kawasan Holland Grove dan kami bercakap-cakap di sudut
Henrietta Street. Mungkin sekitar pukul dua, kuputuskan untuk
berkeliling dan melihat situasi di Brixton Road. Tempat itu sangat kotor
dan sunyi. Tidak seorang pun kutemui sepanjang jalan ke sana, walau ada
satu-dua kereta yang melewatiku. Aku tengah berjalan sambil memikirkan
betapa enaknya segelas gin hangat, sewaktu tiba-tiba kulihat cahaya dari
jendela rumah No. 3. Nah. aku tahu bahwa kedua rumah di Lauriston
Gardens itu kosong karena pemiliknya tidak melakukan apa-apa setelah
penyewa terakhir meninggal karena tifus. Oleh sebab itu aku sangat
terkejut sewaktu melihat cahaya di jendelanya, dan menduga ada yang
tidak beres. Ketika tiba di depan pintu..."
"Kau berhenti, lalu kembali ke gerbang taman", sela temanku. "Kenapa kau berbuat begitu?"
Rance terlonjak, ditatapnya Holmes dengan terpana.
"Itu benar,
Sir," katanya, "dari mana Anda bisa tahu? Aku berbalik karena melihat
suasana yang begitu sepi, kupikir lebih baik kalau aku mengajak teman.
Aku bukan penakut, tapi bagaimana kalau hantu orang yang meninggal
karena tipus itu datang? Pikiran itu membuatku merinding dan aku kembali
ke gerbang untuk melihat apa Murcher masih di dekat situ. Ternyata dia
tidak ada, orang lain juga tidak."
"Tak ada seorang pun di jalan?"
"Tidak, Sir,
bahkan anjing pun tidak ada. Terpaksa aku memberanikan diri pergi ke
rumah itu dan membuka pintunya. Di dalam sangat tenang, jadi aku masuk
ke ruangan tempat cahaya itu berasal. Ada lilin yang menyala di rak
perapian—lilin merah—dan berkat cahayanya aku melihat..."
"Ya, aku
tahu semua yang kaulihat. Kau mondar-mandir dalam ruangan itu beberapa
kali, kau berlutut di samping mayat korban, lalu kau melewatinya dan
memeriksa pintu dapur..."
John Rance
melompat bangkit, ekspresi wajahnya ketakutan, sementara matanya
memandang curiga. "Anda bersembunyi di mana hingga bisa melihat
semuanya?" serunya. "Anda tahu lebih banyak dari yang seharusnya."
Holmes
tertawa dan melemparkan kartu namanya ke atas meja. "Jangan menangkapku
dengan tuduhan pembunuhan," gelaknya. "Aku salah satu pemburu dan bukan
rubahnya... tanyakan saja pada Mr. Gregson dan Mr. Lestrade. Tapi,
lanjutkan. Apa yang kaulakukan sesudah itu?"
Masih
kebingungan, Rance duduk kembali. "Aku kembali ke gerbang dan meniup
peluitku. Murcher dan dua petugas lain seketika datang ke sana."
"Apa jalannya masih kosong waktu itu?"
"Well, bisa dikatakan begitu..."
"Maksudmu?"
Ekspresi
petugas tersebut berubah, ia tersenyum lebar. "Ada orang mabuk di sana,
mabuk berat. Dia bersandar di pagar taman sambil sekuat tenaga
menyanyikan New-fangled Banner-nya Columbine, atau lagu yang mirip itu.
Dia tidak bisa berdiri, apalagi membantu kami."
"Kau bisa memberi gambaran tentang orang itu?" tanya Holmes.
Rance tampak
agak jengkel mendengar permintaan yang menurutnya tak ada hubungannya
itu. "Pokoknya dia mabuk berat, jauh lebih parah daripada
pemabuk-pemabuk yang biasa kutemui. Andai saat itu kami tak disibukkan
oleh misteri tersebut, dia pasti sudah kami tangkap.”
"Wajahnya... pakaiannya... apa kau sempat memperhatikan?" sela Holmes dengan tidak sabar.
"Rasanya aku
sempat memperhatikan, karena aku terpaksa memapahnya... aku dan Murcher
bersama-sama. Dia bertubuh jangkung, dengan wajah kemerahan,
berjanggut..."
"Cukup," tukas Holmes. "Apa yang terjadi padanya?"
"Kami kan
sedang sibuk, mana ada waktu untuk memperhatikan dirinya," jawab Rance
dengan nada jengkel. "Kurasa dia berhasil tiba di rumahnya dengan
selamat."
"Bagaimana pakaiannya?"
"Mantel panjang cokelat."
"Dia membawa cambuk?"
"Cambuk... tidak."
Dia pasti meninggalkannya," gumam temanku. "Kau tidak kebetulan melihat kereta atau mendengar bunyinya sesudah itu?"
"Tidak."
"Ini
untukmu," kata Holmes, memberikan uang emas yang dipegangnya. Ia bangkit
dan mengambil topinya. "Sayang sekali, Rance, kau tidak akan pernah
naik pangkat. Kepalamu itu seharusnya digunakan, bukan hanya sebagai
hiasan. Sebetulnya kau bisa mendapatkan pangkat sersan semalam. Orang
yang kaupapah itu adalah kunci misteri semalam, dan dialah yang kami
cari. Tapi tak ada gunanya meributkannya sekarang. Ayo, Dokter."
Kami menuju ke taksi bersama-sama, meninggalkan informan kami dalam keadaan tertegun dan jelas-jelas tidak nyaman.
"Orang
tolol!" kata Holmes dengan pahit, saat kami menempuh perjalanan pulang.
"Pikir-kan saja, mendapat keberuntungan sebesar itu, dan tidak
meraihnya!"
"Aku masih
bingung. Memang benar bahwa deskripsi pemabuk itu cocok dengan gagasanmu
tentang pihak kedua dalam misteri ini. Tapi untuk apa dia kembali ke
rumah itu? Bukan begitu cara penjahat!"
"Cincinnya,
Sobat, cincinnya... dia kembali untuk cincin itu. Kalau tidak ada cara
lain untuk menangkapnya, kita bisa memancingnya dengan cincin itu. Aku
akan menangkapnya, Dokter—aku pasti bisa menangkapnya. Aku harus
berterima kasih padamu. Kalau bukan karena doronganmu, aku mungkin tidak
akan pergi, dan dengan begitu melewatkan pelajaran terbaik yang pernah
kutemui. Penelusuran benang merah, eh? Bagaimana kalau kita gunakan nama
itu untuk penyelidikan kita? Memang ada benang merah pembunuhan dalam
kumparan kehidupan yang tanpa warna. Tugas kitalah untuk melusurinya,
menguraikannya, dan meluruskannya. Sekarang mari kita makan siang,
sesudah itu menyaksikan Norman Neruda. Serangan dan bungkukan badannya
luar biasa. Apa judul karya Chopin yang dimainkannya dengan begitu
mengagumkan itu? Tra-la-la-lira-lira-lay."
Sambil
menyandar di kereta, anjing pemburu amatir ini berceloteh bagai burung
gagak, sementara aku merenungkan keunikan otak manusia.
Bab 5 : Iklan Jebakan
Kegiatan
pagi itu agak berlebihan bagi kesehatanku, dan aku merasa kelelahan di
siang harinya. Setelah Holmes pergi menonton konser, aku membaringkan
diri di sofa dan berusaha tidur selama satu-dua jam. Usaha yang sia-sia.
Pikiranku terlalu aktif akibat semua kejadian yang telah berlangsung
dan segala keanehan yang meliputinya. Setiap kali memejamkan mata, aku
melihat ekspresi korban yang mirip kera. Begitu mengerikan kesan yang
ditimbulkan wajah tersebut sehingga rasanya aku ingin mengucapkan terima
kasih pada orang yang telah mengenyahkan korban dari dunia ini. Seumur
hidup, belum pernah aku melihat wajah yang lebih kejam daripada wajah
Enoch J. Drebber. Sekalipun begitu, aku tetap beranggapan bahwa keadilan
harus ditegakkan. Kondisi fisik korban tak boleh menjadi bahan
pertimbangan di mata hukum.
Semakin
kupikirkan, aku semakin meragukan hipotesis temanku bahwa pria tersebut
telah diracuni. Aku ingat bagaimana Holmes mengendus pria itu, dan
mungkin mendeteksi sesuatu menimbulkan gagasan tersebut. Tapi kalau
bukan racun, apa penyebab kematian pria itu? Tak ada luka atau bekas
cekikan. Dan lagi, darah siapa yang berceceran di lantai? Tidak ada
tanda-tanda perkelahian, korban pun tidak memiliki senjata yang mungkin
digunakannya untuk melukai lawan. Selama pertanyaan-pertanyaan tersebut
belum terjawab, aku jadi sulit tidur.
Holmes pulang terlambat, sehingga aku menduga ia bukan hanya menonton konser. Makan malam telah siap di meja ketika ia tiba.
"Luar
biasa," katanya sambil duduk. "Kauingat apa kata Darwin tentang musik?
Dia mengklaim bahwa kemampuan untuk menghasilkan dan menikmati musik
sudah ada pada manusia lama sebelum mereka bisa berbicara. Mungkin itu
sebabnya kita secara tak sadar begitu dipengaruhi musik. Ada kenangan
samar dalam jiwa kita akan abad-abad ketika dunia masih dalam tahap
kanak-kanak."
"Itu gagasan yang berlebihan," kataku.
"Gagasan
seseorang haruslah sebesar alam, kalau ia ingin menafsirkan alam itu,"
tukas Holmes. "Ada masalah apa? Kau tampak murung. Kasus lauriston
Gardens ini mengganggumu, ya?"
"Sejujurnya,
ya. Aku seharusnya lebih mampu menghadapinya setelah pengalamanku di
Afghanistan. Aku sudah melihat rekan-rekanku dicincang di Maiwand tanpa
kehilangan keberanianku."
"Bisa
kupahami. Ada misteri dalam hal ini yang memicu imajinasi. Jika tak ada
imajinasi, tak ada ketakutan. Kau sudah membaca koran sore?"
"Belum."
"Laporan
mengenai kasus itu cukup bagus. Tapi tidak menyinggung fakta bahwa
sewaktu korban diangkat, ada cincin pernikahan wanita yang jatuh ke
lantai. Memang sebaiknya begitu."
"Kenapa?"
"Lihat iklan ini," jawab Holmes. "Aku mengirimkannya ke setiap koran tadi pagi setelah mengetahui kasus ini."
Holmes
melemparkan koran ke arahku, dan aku melirik kolom yang ditunjukkannya.
"Pagi ini di Brixton Road," demikian bunyi iklan itu, "ditemukan
sebentuk cincin kawin. Cincin ini ditemukan tepatnya di jalan antara
White Hart Tavern dan Holland Grove. Hubungi Dr. Watson, Baker Street
No. 22IB, antara pukul delapan dan sembilan malam."
"Maaf
karena aku menggunakan namamu," kata Holmes. "Kalau kugunakan namaku
sendiri, pasti ada orang iseng yang mengenalinya, dan ingin ikut campur
dalam masalah ini."
"Tak apa-apa," jawabku. "Tapi seandainya ada yang datang, aku tidak memiliki cincinnya."
"Oh, ya, ada." Holmes memberikan sebuah cincin kepadaku. "Cukup bagus, kan? Sangat mirip."
"Menurutmu, siapa yang akan menanggapi iklan ini?"
"Tentu saja pria bermantel cokelat dengan sepatu berujung persegi. Kalau bukan dia sendiri yang datang, pasti temannya."
"Apa dia tidak akan menganggap hal ini berbahaya?"
"Sama
sekali tidak. Bila perkiraanku mengenai kasus ini benar, dan aku
memiliki semua alasan antuk percaya memang begitu, pria ini pasti lebih
suka mengambil risiko daripada kehilangan cincinnya. Menurutku cincin
itu jatuh sewaktu dia membungkuk di atas mayat Drebber, dan saat itu dia
tidak menyadarinya. Dia baru sadar setelah meninggalkan rumah, dan
bergegas kembali, tapi mendapati polisi telah berada di sana akibat
kesalahannya sendiri, meninggalkan lilin yang masih menyala. Dia
berpura-pura mabuk antuk menghindari kecurigaan yang mungkin timbul
karena kemunculannya di gerbang taman. Sekarang tempatkan dirimu pada
posisinya. Setelah memikirkannya kembali, pasti terlintas dalam benaknya
kemungkinan cincin itu terjatuh di jalan setelah dia meninggalkan
rumah. Apa yang akan dilakukannya? Dengan penuh semangat dia akan
membaca semua koran sore dengan harapan iklan tentang cincin itu ada
pada kolom 'Ditemukan'. Kubayangkan matanya berbinar ketika membaca
iklanku. Dia pasti sangat gembira. Kenapa dia harus cemas kalau-kalau
ini jebakan? Dalam pandangannya, penemuan cincin itu sama sekali tak ada
hubungannya dengan pembunuhan yang dilakukannya. Dia akan datang.
Percayalah padaku. Kau akan berjumpa dengannya satu jam lagi."
"Sesudah itu bagaimana?" tanyaku.
"Aku yang akan menghadapinya. Kau punya senjata?"
"Ada revolver dinasku yang lama dan beberapa butir peluru."
"Sebaiknya
kaubersihkan revolver itu dan isi pelurunya. Meskipun dia tak menaruh
curiga pada kita, orang yang terjepit bisa melakukan apa saja. Jadi
sebaiknya kita bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan."
Aku
pergi ke kamar tidurku dan mengikuti saran Holmes. Sewaktu aku keluar
kembali membawa pistol, meja makan telah dibersihkan, dan Holmes tengah
melakukan kegiatan kesukaannya: menggesek biola secara sembarangan.
"Ceritanya
semakin seru," katanya sewaktu aku masuk. "Aku baru saja mendapat
jawaban telegram yang kukirim ke Amerika. Pandanganku tentang kasus ini
benar."
"Yaitu...?" tanyaku penuh semangat.
"Biolaku
akan lebih merdu kalau mendapat senar baru," kata Holmes tak menjawab
pertanyaanku. "Simpan pistolmu di saku. Saat dia datang, bicaralah
dengan nada biasa. Selanjutnya biar aku yang mengurus. Jangan membuatnya
takut dengan menatapnya terlalu tajam."
"Sekarang sudah pukul delapan," kataku, melirik arloji.
"Ya.
Dia mungkin akan tiba beberapa menit lagi. Buka pintunya sedikit. Itu
cukup. Sekarang letakkan kuncinya di sebelah dalam. Terima kasih! buku
tua ini kutemukan di kios barang bekas kemarin... De Jure Inter
Gentes—diterbitkan dalam bahasa Latin di Liege, Lowlands, tahun 1642.
Kepala Charles masih utuh di lehernya sewaktu buku kecil bersampul
cokelat ini terbit."
"Siapa pencetaknya?"
"Philippe
de Croy, entah siapa dia. Di halaman dalam, dengan tinta yang sudah
sangat pudar, tertulis 'Ex libris Guliolmi Whyte.' Aku penasaran siapa
William Whyte ini. Pengacara abad ketujuh belas yang pragmatis, mungkin.
Tulisannya memiliki kecenderungan ke arah hukum... Nah, kurasa orang
yang kita tunggu-tunggu sudah datang."
Terdengar
dering bel. Holmes perlahan-lahan bangkit dan memindahkan kursinya ke
arah pintu. Kami mendengar langkah kaki pelayan melintasi lorong, dan
ceklikan keras saat selot pintu depan dibuka.
"Di
sini tempat tinggal Dr. Watson?" tanya seseorang dengan suara jelas
namun agak serak. Kami tidak bisa mendengar jawaban pelayan, tapi pintu
terdengar ditutup, dan ada orang menaiki tangga. Langkah kakinya tidak
mantap dan agak diseret. Ekspresi terkejut melintas di wajah temanku
saat ia mendengarkan bunyi langkah-langkah kaki itu. Tak lama kemudian,
pintu apartemen kami diketuk pelan.
"Masuk!" seruku.
Yang
masuk bukanlah pria yang biasa menghadapi kekerasan sebagaimana dugaan
kami. Tapi seorang wanita yang sangat tua dan keriput dengan langkah
terhuyung-huyung. Ia tertegun karena cahaya terang benderang yang
tiba-tiba, dan setelah membungkuk memberi hormat, ia berdiri memandang
kami dengan mata merah berkedip-kedip. Tangannya bergerak-gerak di saku
dengan gugup, gemetar. Kulirik temanku, dan ia tampak melamun sehingga
aku hanya bisa melanjutkan aktingku.
Wanita
tua itu mengeluarkan sehelai koran sore dan menunjuk iklan kami. "Ini
yang mem-bawaku kemari, tuan-tuan yang baik," katanya, sambil membungkuk
memberi hormat sekali lagi, "cincin kawin emas di Brixton Road. Itu
cincin putriku, Sally, yang baru setahun menikah dan suaminya bekerja di
kapal Union. Apa kata menantuku sepulangnya nanti, kalau dia tahu
istrinya telah menghilangkan cincin kawin. Aku tak berani membayangkan
reaksinya. Dia pemarah, apalagi kalau sedang mabuk. Putriku Sally
semalam menonton sirkus dan..."
"Ini cincinnya?" potongku.
"Puji Tuhan!" seru wanita tua itu. "Sally akan menjadi wanita yang paling gembira malam ini. Itu memang cincinnya."
"Di mana rumah Anda?" tanyaku sambil meraih pensil.
"Duncan Street No. 13, Houndsditch. Cukup iuh dari sini."
"Brixton Road tidak terletak di antara Houndsditch dan sirkus mana pun," sela Sherlock Holmes tajam.
Wanita
tua itu berpaling dan menatap temanku dengan cermat. "Tuan ini
menanyakan rumahku" katanya. "Sally tinggal di Mayfield Place No. 3,
Peckham."
"Nama Anda..."
"Sawyer...
putriku Sally Dennis... karena dia menikah dengan Tom Dennis. Menantuku
itu awak kapal yang baik, sikapnya di kapal juga baik dan terpuji. Tapi
di darat, dengan wanita-wanita jalang dan toko-toko minuman itu..."
"Ini
cincinnya, Mrs. Sawyer," selaku, mematuhi syarat temanku. "Jelas ini
milik putri Anda, dan aku senang bisa mengembalikannya kepada yang
berhak."
Diiringi
ucapan terima kasih bertubi-tubi, wanita tua itu mengantongi cincin
yang kuberikan dan tertatih-tatih menuruni tangga. Holmes melompat
bangkit begitu wanita itu menghilang dan bergegas ke kamar tidurnya.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan mengenakan mantel dan topi.
"Aku
akan mengikuti wanita itu," katanya tergesa-gesa. "Dia pasti suruhan
orang yang kita cari dan akan membawaku kepadanya. Tunggu aku."
Pintu
depan belum lagi ditutup setelah tamu kami keluar, sewaktu Holmes
menuruni tangga. Saat memandang ke luar jendela, aku bisa melihat wanita
tua itu berjalan terhuyung-huyung di seberang jalan, sementara
penguntitnya agak jauh di belakang.
Entah seluruh teori Holmes salah, pikirku, atau dia akan dibawa ke jantung misteri ini.
Sebenarnya Holmes tidak perlu memintaku menunggu, karena mustahil aku bisa tidur se-belum mendengar hasil pelacakannya.
Waktu
menunjukkan hampir pukul sembilan waktu Holmes meninggalkan rumah. Aku
tidak tahu berapa lama ia akan pergi, jadi aku duduk saja mengisap pipa
sambil membalik-balik Vie de Boheme karya Henri Murger. Pukul sepuluh
berlalu, dan aku mendengar bunyi langkah kaki pelayan saat ia
bersiap-siap tidur. Pukul sebelas... langkah kaki yang lebih halus
melewati pintu. Berarti wanita induk semang kami juga akan tidur.
Menjelang pukul dua belas, baru aku mendengar selot pintu depan dibuka.
Begitu Holmes masuk, aku bisa melihat dari ekspresi wajahnya bahwa ia
tidak berhasil. Penyesalan dan rasa geli tampaknya saling berjuang untuk
mendominasi, sampai rasa geli memenangkan pergulatan itu dan Holmes
tertawa terbahak-bahak.
"Jangan
sampai orang-orang Scotland Yard itu tahu!" serunya sambil menjatuhkan
diri ke kursi. Aku sudah begitu sering mengalahkan mereka seningga
mereka tidak akan berhenti mengejekku untuk yang satu ini. Tapi aku
masih bisa tertawa, karena aku yakin aku bisa membalas dendam pada kedua
pengecohku."
"Memangnya ada apa?" tanyaku.
"Aku
tertipu mentah-mentah, Dokter. Seperti kau tahu, aku mengikuti Mrs.
Sawyer. Dia belum jauh berjalan sewaktu mulai terpincang-pincang dan
menunjukkan semua tanda kalau kakinya sakit. Kemudian dia berhenti dan
memanggil kereta yang melintas. Aku berusaha mendekatinya supaya bisa
mendengar alamatnya, tapi ternyata aku tak perlu repot-repot karena dia
menyebutkan alamatnya dengan begitu keras sehingga bisa didengar dari
seberang jalan. 'Ke Duncan Street No. 13, Houndsditch!' serunya.
Kelihatannya dia tidak bohong, pikirku. Itu alamat yang diberitahukannya
kepada kita. Setelah dia masuk ke kereta, aku cepat-cepat melompat naik
dan menumpang di belakang kereta itu. Ini keahlian yang seharusnya
dikuasai semua detektif. Nah, kereta pun melaju, dan tidak berhenti
hingga tiba di alamat yang dituju. Aku melompat turun sebelum kami tiba
di sana, dan melangkah menyusuri jalan dengan lagak santai. Aku melihat
kereta itu berhenti. Kusirnya melompat turun dan membuka pintu, menunggu
sang penumpang keluar. Tapi tidak ada yang keluar. Sewaktu aku tiba di
dekat kusir, kulihat dia tengah melongok ke dalam kereta yang kosong
sambil menyumpah-nyumpah. Penumpangnya telah menghilang tanpa jejak, dan
dia takkan mendapat upah. Ketika bertanya pada penghuni rumah No. 13,
kami mendapat informasi bahwa rumah itu milik pria bernama Keswick, dan
mereka sama sekali tidak mengenal Mrs. Sawyer atau Mrs. Dennis."
"Maksudmu,"
seruku heran, "wanita tua yang jalannya tertatih-tatih itu mampu
melompat turun dari kereta yang sedang melaju? Dan kau maupun kusir
tidak melihatnya?"
"Wanita
tua apa!" kata Sherlock Holmes tajam. "Kitalah yang layak disebut
wanita tua karena terkecoh olehnya. Dia pasti masih muda, laki-laki muda
yang pandai berakting. Dia tahu kalau dirinya diikuti, dan dengan
cerdik berhasil meloloskan diri. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa
pembunuh yang kita cari tidaklah bekerja seorang diri sebagaimana
bayanganku semula. Dia memiliki teman yang bersedia mengambil risiko
untuknya. Nah, Dokter, kau tampaknya sudah kehabisan tenaga, sebaiknya
kau tidur sekarang."
Aku
memang merasa sangat lelah, jadi kuturuti saran itu. Kutinggalkan
Holmes yang masih duduk di depan perapian yang menyala, menggesek biola
sampai hari menjelang pagi. Alunan nadanya yang melankolis menandakan
bahwa sang detektif sedang memikirkan masalah aneh yang dihadapinya.
Bab 6 : 'Keberhasilan' Tobias Gregson
Keesokan
harinya berita tentang pembunuhan di Lauriston Gardens memenuhi
koran-koran. Masing-masing koran mengulas kasus yang mereka sebut
"Misteri Brixton" itu secara panjang-lebar, bahkan ada yang
menyajikannya sebagai berita utama. Aku memperoleh beberapa informasi
baru dari berita-berita itu. Inilah ringkasan kliping-kliping yang
kukumpulkan tentang kasus tersebut:
Daily
Telegraph memberi komentar bahwa dalam sejarah kejahatan, jarang sekali
ada pembunuhan yang ciri-cirinya lebih aneh dari pembunuhan ini. Nama
korban yang berbau Jerman, tidak adanya motif perampokan atau
motif-motif lain, dan kata yang tertulis di dinding, semuanya
mengisyaratkan keterlibatan pelarian politik dan kaum sosialis Jerman.
Sosialisme Jerman memiliki banyak pengikut di Amerika. Tak diragukan
lagi bahwa korban telah melanggar hukum tidak tertulis mereka dan karena
itu harus disingkirkan. Selah menyinggung teori-teori hebat seperti
Vehmgericht, Darwin, dan Malthus, serta mengungkit-ungkit pembunuhan di
Ratcliff Highway, penulis artikel tersebut mengecam pemerintah dan
menuntut agar dilakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap orang asing
di Inggris.
Standard
berpendapat bahwa pembunuhan keji seperti ini biasanya timbul dalam
pemerintahan liberal. Ketidakpuasan masyarakat dan pemerintah rang lemah
berakumulasi pada tindak kriminal yang melampaui batas. Menurut
penyelidikan, korban adalah warga negara Amerika yang sudah beberapa
minggu tinggal di London. Ia menginap di tempat kos Madame Charpentier,
di Torquay trrace, Camberwell. Dalam perjalanannya, korban ditemani
sekretaris pribadinya, Mr. Joseph Stangerson. Keduanya mengucapkan
selamat berpisah kepada induk semang mereka pada hari Selasa, tanggal 4,
dan berangkat ke Stasiun Euston dengan niat menumpang kereta Liverpool
Express. Ada saksi mata yang melihat mereka di peron, tapi setelah itu
kedua orang tersebut tak kedengaran lagi beritanya sampai mayat Mr.
Drebber ditemukan di sebuah rumah kosong di Brixton Road,
berkilo-kilometer jauhnya dari Euston. Bagaimana ia bisa berada di sana,
atau bagaimana hidupnya berakhir, masih merupakan misteri. Begitu pula
tentang keberadaan Stangerson. Syukurlah, kasus ini ditangani oleh Mr.
Lestrade dan Mr. Gregson, dua detektif andalan Scotland Yard, dan kita
boleh berharap mereka akan segera memecahkannya.
Daily News
mengamati bahwa kasus kejahatan ini bersifat politis. Kebencian terhadap
Liberalisme yang mewarnai pemerintahan Inggris, menyebabkan kita
kehilangan sejumlah orang yang mestinya dapat menjadi warga negara
teladan. Para penganut Liberalisme ini mempunyai peraturan-peraturan
sendiri, yang bila dilanggar berarti hukuman mati. Polisi harus segera
menemukan sekretaris korban, Stangerson, untuk mendapat informasi yang
lebih rinci tentang korban. Beruntung, ketekunan Mr. Gregson, detektif
Scotland Yard, membuahkan hasil. Beliau telah memperoleh alamat
penginapan Stangerson.
Holmes tampak geli ketika membaca artikel-artikel itu bersamaku saat sarapan.
"Sudah kubilang, Watson, apa pun yang terjadi, pasti Lestrade dan Gregson yang mendapat pujian."
"Belum tentu, tergantung bagaimana akhirnya nanti."
"Ah, kau
masih tak mengerti. Jika si pembunuh tertangkap, itu dianggap karena
usaha mereka. Jika si pembunuh berhasil meloloskan diri, itu akan
dimaklumi karena mereka dianggap sudah berusaha keras. Bagaimanapun
akhirnya nanti, kedua detektif itu akan selalu menang. Itu kenyataan..."
"Hei, ada
apa itu?" seruku, mendengar bunyi langkah-langkah kaki yang ribut di
lorong dan di tangga, ditimpali oleh seruan-seruan jengkel induk semang
kami.
"Itu satuan
detektif polisi divisi Baker Street," kata temanku dengan nada serius.
Sementara ia rerbicara, masuklah "satuan detektif polisi" itu, yaitu
setengah lusin anak jalanan yang paling kotor dan paling lusuh yang
pernah kulihat.
"Siap!"
Holmes memberi aba-aba, dan keenam berandal cilik itu berdiri berjajar
bagaikan sederet patung. "Lain kali, Wiggins saja yang melapor, dan yang
lainnya menunggu di jalan, mengerti? Kau sudah menemukannya, Wiggins?"
"Belum, Sir," jawab yang ditanya.
"Sudah
kudugai. Kalian harus terus berusaha sampai menemukannya. Ini upah
kalian." Holmes memberi mereka masing-masing satu shilling. "Sekarang
pergilah, dan kembalilah dengan laporan yang lebih baik."
"Pengemis-pengemis
kecil ini dapat memperoleh lebih banyak informasi daripada selusin
polisi," kata Holmes padaku. "Melihat sosok polisi saja semua orang
sudah menutup mulut. Tapi bocah-bocah ini bisa pergi ke mana saja dan
mendengarkan percakapan apa saja. Mereka juga sangat cerdas, hanya perlu
diorganisir."
"Kau mempekerjakan mereka untuk kasus Brixton?" tanyaku.
"Ya, ada
satu hal yang ingin kupastikan. Aku akan mendapatkan informasi itu, kau
tunggu saja. Wah, lihat itu! Gregson sedang menyusuri jalan dengan
ekspresi penuh kemenangan! Dia pasti akan ke tempat kita... benar, dia
berhenti. Itu dia!"
Bel pintu
berdentang, dan beberapa detik kemudian terdengar langkah kaki detektif
itu menaiki tangga, tiga anak tangga sekaligus. Gregson menghambur masuk
ke ruang duduk kami dengan penuh semangat.
"Temanku
yang baik!" serunya sambil mengguncang-guncang tangan Holmes, sementara
temanku tidak bereaksi. "Beri aku selamat! Aku sudah mengungkapkan
semuanya hingga tuntas!"
Kegelisahan melintas di wajah temanku.
"Maksudmu kau sudah berada di jalur yang benar?" tanyanya.
"Jalur yang benar! Bukan hanya itu! Kami sudah menangkap dan menahan pelakunya!"
"Siapa dia?"
"Arthur
Charpentier, letnan dua di Angkatan Laut Kerajaan," jawab Gregson dengan
sikap sok. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya yang gemuk dan
membusungkan dadanya.
Holmes mendesah lega dan tersenyum.
"Duduklah
dan cicipi cerutunya," ia menyilakan. "Kami sangat ingin tahu bagaimana
kau bisa menangkap orang itu. Kau mau minum whisky?"
"Terima
kasih, aku memang membutuhkannya. Kerja kerasku selama satu-dua hari ini
benar-benar menguras tenaga. Bukan tenaga fisik, tapi lebih banyak
pikirannya. Kau tentu mengerti, Mr. Sherlock Holmes, karena kita berdua
adalah pekerja otak."
"Kau terlalu memujiku," kata Holmes seakan bersungguh-sungguh. "Coba ceritakan, bagaimana kau mendapatkan hasil ini."
Gregson duduk di kursi berlengan, mengisap cerutu dengan ekspresi puas. Lalu tiba-tiba, ia menampar pahanya dengan gembira.
"Yang lucu,"
serunya, "adalah si bodoh Lestrade itu, yang mengira dirinya cerdas.
Dia mengikuti jejak yang salah sama sekali. Dia memburu Stangerson, yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembunuhan ini. Aku yakin
sekarang dia sudah menangkap Stangerson."
Hal itu rupanya membuat Gregson begitu geli sehingga ia tertawa sampai tersedak.
"Bagaimana caramu mendapatkan petunjuk?" tanya Holmes.
"Ah, akan
kuceritakan semuanya. Tentu saja, Dr. Watson, ini hanya di antara kita.
Nah, kesulitan pertama yang kami hadapi adalah bagaimana menemukan
alamat serta latar belakang korban. Detektif-detektif lain pasti hanya
akan memasang iklan dan menunggu jawabannya, atau menunggu sampai ada
orang datang menyampaikan informasi secara sukarela. Namun bukan begitu
cara kerja Tobias Gregson. Kalian ingat topi yang tergeletak di samping
mayat korban?"
"Ya," kata Holmes, "buatan John Underwood and Sons, Camberwell Road No. 129."
Gregson tertegun.
"Aku tidak tahu kalau kau menyadarinya," katanya. "Kau sudah ke sana?"
"Belum."
"Ha!" seru Gregson lega. "Seharusnya kau tidak melewatkan kesempatan, betapapun kecilnya."
"Bagi pikiran yang luas, tidak ada apa pun yang kecil," komentar Holmes.
"Nah, aku
mengunjungi Underwood," lanjut Gregson. "Aku bertanya apakah dia pernah
menjual topi dengan ukuran serta ciri-ciri topi korban. Underwood
memeriksa catatannya dan seketika menemukannya. Dia mengirimkan topi itu
kepada Mr. Drebber yang tinggal di Tempat Kos Charpentier, Torquay
Terrace. Begitulah, aku mendapatkan alamat korban."
"Cerdik... sangat cerdik!" gumam Holmes.
"Aku
melanjutkan penyelidikanku dan pergi ke Tempat Kos Charpentier. Kulihat
Madame Charpentier dalam keadaan pucat dan tertekan. Putrinya juga ada
di sana—gadis yang sangat menawan, tapi matanya merah dan bibirnya
gemetar sewaktu aku berbicara dengannya. Tentu saja hal itu tak luput
dari pengamatanku. Aku lulai mencium sesuatu yang mencurigakan. Kau tahu
perasaan itu, Mr. Sherlock Holmes. Saat menemukan jejak yang benar,
semangat kita bagai terbakar. 'Kalian sudah mendengar tentang kematian
misterius Mr. Enoch J. Drebber?' tanyaku. 'Pria Amerika itu menyewa
kamar di sini, bukan?'
"Madame
Charpentier mengangguk. Wanita itu tampaknya tidak mampu berbicara.
Putrinya tiba-tiba menangis. Aku semakin yakin kalau orang-orang ini
tahu tentang pembunuhan tersebut.
"'Pukul berapa Mr. Drebber meninggalkan rumah untuk menuju stasiun kereta?' tanyaku.
"'Pukul
delapan,' sahut Madame Charpentier, sambil menelan ludah dengan susah
payah seolah-olah ingin menenangkan diri. 'Sekretarisnya, Mr.
Stangerson, mengatakan bahwa ada dua kereta— pukul 9.15 dan pukul 11.00.
Mr. Drebber berniat naik kereta yang pertama.'
"'Dan itu terakhir kali kalian bertemu dengannya?'
"Wajah
Madame Charpentier jadi pucat pasi ketika dia mendengar pertanyaan itu.
Dia me-merlukan waktu beberapa detik sebelum menjawab singkat, 'Ya.'
Saat berbicara, suaranya pelan dan tidak wajar.
"Sejenak kami semua terdiam, lalu putri Madame Charpentier berbicara dengan suara tenang dan jelas.
"'Tak ada
gunanya berbohong, Ibu,' katanya. 'Lebih baik kita bersikap jujur pada
tuan ini. Kita memang bertemu lagi dengan Mr. Drebber.'
"'Demi
Tuhan, Alice!' seru Madame Charpentier, sambil melontarkan tangannya ke
atas dan me-rosot di kursinya. 'Kau membunuh kakakmu.'
"'Arthur pasti lebih suka kita mengungkapkan yang sebenarnya,' jawab gadis itu tegas.
"'Sebaiknya
kalian ceritakan semuanya sekarang,' tukasku. 'Informasi separo-separo
lebih buruk daripada tidak memberi informasi sama sekali. Lagi pula,
kalian tidak tahu seberapa banyak yang sudah kami ketahui.'
"'Alice, kau
yang harus menanggung akibatnya!' seru Madame Charpentier menyesali
putrinya. Berpaling padaku, ia lalu berkata, 'Akan saya ceritakan
semuanya, Sir. Saya mencemaskan nasib anak laki-laki saya, namun itu
bukan karena dia bersalah. Saya hanya takut Anda dan orang-orang lain
menganggap dia terlibat dalam pembunuhan itu, padahal kenyataannya tidak
demikian. Sifat-sifat anak saya, latar belakangnya, pekerjaannya...
semua membuktikan dia tak mungkin melakukan kejahatan itu.'
"'Sebaiknya Anda berterus terang,' ujarku. Kalau putra Anda memang tak bersalah, dia tentu tak akan ditangkap.'
"'Mungkin,
Alice, lebih baik kautinggalkan kami berdua,' kata Madame Charpentier,
dan putrinya meninggalkan ruangan. 'Baiklah, Sir,' lanjut Madame
Charpentier, 'saya sama sekali ridak berniat menceritakan semua ini,
tapi karena putri saya sudah menyinggungnya, saya tidak memiliki pilihan
lain. Akan saya ungkapkan seluruh kejadiannya tanpa melewatkan satu
rincian pun.'
"'Itu tindakan yang paling bijak,' kataku.
"'Mr.
Drebber sudah menginap di tempat kami selama hampir tiga minggu. Dia dan
sekretarisnya, Mr. Stangerson, sedang melakukan perjalanan keliling
Eropa. Sebelum ke London, mereka rupanya pergi ke Copenhagen... saya
melihat label kota itu pada koper-koper mereka. Stangerson pria yang
pendiam dan tertutup, tapi bosnya, tidak enak bagi saya untuk
mengatakan-nya, jauh berbeda. Mr. Drebber orangnya kasar dan tak tahu
sopan santun. Ketika tiba di sini, dia mabuk berat, dan di hari-hari
selanjutnya jarang kami melihatnya dalam keadaan sadar, baik siang
maupun malam. Sikapnya terhadap para pelayan wanita sangat tidak sopan,
begitu pula terhadap putri saya Alice. Bukan satu-dua kali dia
mengatakan hal-hal yang tak pantas kepada putri saya itu. Untungnya,
Alice terlalu polos untuk memahami ucapan-ucapan yang kurang ajar itu.
Terakhir, dia malah memeluk putri saya—tindakan yang begitu lancang
sehingga sekretarisnya sendiri menegurnya.'
"'Tapi kenapa Anda mendiamkan semua ini?' tanyaku. 'Anda kan bisa mengusir mereka.'
"Wajah
Madame Charpentier memerah mendengar pertanyaanku itu. 'Sejak hari
pertama saya sudah ingin mengusir mereka,' akunya. 'Tapi saya tergoda
oleh uang yang mereka bayarkan. Satu pound sehari per orang... berarti
empat belas pound seminggu, dan ini musim sepi. Saya seorang janda,
sementara putra saya yang di Angkatan Laut masih memerlukan biaya. Demi
uang, saya terpaksa menahan diri. Tapi tindakan Mr. Drebber yang
terakhir itu sudah keterlaluan, dan saya mengusirnya. Itu sebabnya dia
pergi dari sini.'
"'Lalu?'
"'Hati saya
terasa ringan sewaktu melihatnya pergi. Putra saya sedang cuti, tapi
saya tidak menceritakan masalah ini padanya. Dia gampang naik darah, dan
dia sangat menyayangi adiknya. Sayangnya, kelegaan saya tak berumur
panjang. Kurang dari satu jam kemudian bel berbunyi, dan Mr. Drebber
datang lagi. Dia sangat bersemangat, dan jelas sangat mabuk. Dia memaksa
masuk ke dalam ruangan tempat saya dan Alice sedang duduk, dan dia
berceloteh tidak jelas tentang tertinggal kereta. Di depan mata saya,
dia nekat mengajak Alice pergi bersamanya. 'Usiamu sudah cukup,"
katanya, "dan tidak ada hukum yang melarangmu. Aku punya banyak uang.
Jangan pedulikan nenek tua ini, ikutlah denganku sekarang juga. Kau akan
hidup seperti putri." Alice yang malang begitu ketakutan hingga
mengerut menjauhinya, tapi dia menangkap pergelangan tangan Alice dan
hendak menyeretnya ke pintu. Saya menjerit, dan pada saat itu putra saya
Arthur masuk ke dalam ruangan. Apa yang terjadi sesudah itu saya tidak
tahu. Saya mendengar sumpah serapah dan suara orang diseret. Saya
terlalu takut untuk mengangkat kepala. Sewaktu akhirnya saya menengadah,
saya melihat Arthur berdiri di ambang pintu sambil membawa sebatang
tongkat. "Kurasa orang itu tidak akan mengganggu kita lagi," katanya
tertawa. "Aku akan mengejarnya dan melihat apa yang dilakukannya
sekarang." Arthur mengambil topi dan berjalan ke luar. Keesokan paginya,
kami mendengar tentang kematian Mr. Drebber yang misterius.'
"Kisah ini
dituturkan Madame Charpentier dengan banyak sela. Terkadang dia bicara
begitu pelan sehingga aku hampir-hampir tidak bisa mendengar
kata-katanya. Tapi aku mencatatnya dengan steno, jadi tidak mungkin ada
kesalahan."
"Benar-benar menarik," kata Sherlock Holmes sambil menguap. "Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Sewaktu
Madame Charpentier diam sejenak," lanjut sang detektif, "aku menyadari
bahwa seluruh kasus ini tergantung pada satu hal. Sambil menatapnya
tajam dan lurus—hal yang menurut pengalamanku sangat efektif terhadap
wanita— kutanyakan pukul berapa putranya pulang.
"'Entahlah,' jawabnya.
"'Anda tidak tahu?'
"'Tidak, Arthur memiliki kunci rumah, dan dia masuk sendiri.'
"'Sesudah Anda tidur?'
"'Ya.'
"'Pukul berapa Anda tidur?'
"'Sekitar pukul sebelas.'
"'Jadi putra Anda pergi paling sedikit selama dua jam?'
"'Benar.'
"'Mungkin empat atau lima jam?'
"'Bisa saja.'
"'Apa yang dilakukannya selama itu?'
"'Saya tidak tahu,' jawab Madame Charpentier dengan gemetar.
"Semua sudah
jelas. Letnan Charpentier terlibat dalam pembunuhan Mr. Drebber.
Kutanyakan di mana pemuda itu berada, dan bersama dua petugas, aku
menangkapnya. Ketika aku menyentuh bahunya sambil memperingatkan agar
dia mengikuti kami tanpa keributan, pemuda itu menjawab dengan berani,
'Kalian pasti menangkapku karena kematian si keparat Drebber itu!' Kami
belum mengatakan apa-apa tentang itu, jadi kata-katanya sangat
mencurigakan."
"Sangat," kata Holmes setuju.
"Letnan
Charpentier masih membawa tongkat yang menurut cerita ibunya, dibawanya
ketika mengikuti Drebber. Tongkat itu terbuat dari kayu ek dan cukup
kokoh."
"Lalu, apa teorimu?"
"Menurutku,
kejadiannya begini: Letnan Charpentier mengikuti Drebber hingga ke
Brixton Road. Di sana mereka bertengkar dan Charpentier memukul Drebber
dengan tongkat, mungkin di ulu hati, sehingga Drebber tewas tanpa
meninggalkan luka. Karena malam itu hujan, jalanan sepi. Charpentier
dengan leluasa menyeret mayat korban ke rumah kosong. Mengenai lilin,
cincin, darah, dan tulisan di dinding, semua mungkin sekadar tipuan agar
polisi melacak jejak yang salah."
"Bagus sekali!" Holmes memuji. "Sungguh, Gregson, kau sudah mengalami banyak kemajuan. Kau akan menjadi detektif yang hebat."
"Aku memang
bangga karena berhasil memecahkan kasus ini," jawab sang detektif.
"Arthur Charpentier sudah memberikan pernyataan. Katanya, dia mengikuti
Drebber selama beberapa waktu, tapi Drebber lalu sadar dirinya dibuntuti
dan melarikan diri dengan taksi. Menurut penga-kuan Charpentier,
setelah itu dia berjalan pulang, tapi kebetulan bertemu bekas teman
sekapalnya. Mereka berdua pergi berjalan-jalan cukup jauh. Sewaktu kami
bertanya di mana temannya itu tinggal, Charpentier tak mampu memberikan
jawaban yang memuaskan. Kupikir kasus ini sudah selesai, Charpentierlah
pembunuhnya, semua faktanya cocok. Aku benar-benar geli kalau teringat
pada Lestrade yang melacak jejak yang salah. Aku yakin dia tidak
berhasil mendapatkan banyak petunjuk di sana. Astaga, ini dia orangnya!"
Memang,
Lestrade-lah yang menaiki tangga sewaktu kami bercakap-cakap, dan
sekarang ia memasuki ruangan. Sikapnya yang biasanya bersemangat dan
penuh percaya diri sekarang memudar. Wajahnya tampak gelisah dan cemas,
sementara pakaiannya kusut masai. Ia jelas datang untuk berkonsultasi
dengan Sherlock Holmes, karena begitu melihat kehadiran rekannya, ia
tampak malu dan jengkel. Ia berdiri di tengah-tengah ruangan,
mempermainkan topinya dengan gugup dan bimbang, sepertinya ia tidak
yakin harus berbuat apa.
"Kasus ini sungguh luar biasa...," katanya akhirnya, "kasus yang sama sekali tak bisa di-pahami."
"Ah, begitu
menurutmu, Mr. Lestrade!" seru Gregson penuh kemenangan. "Sudah kuduga
kau akan menyimpulkan begitu. Kau berhasil menemukan sekretaris itu, Mr.
Joseph Stangerson?"
"Sang
sekretaris... Mr. Joseph Stangerson... mati dibunuh di Halliday's
Private Hotel sekitar pukul enam tadi pagi," jawab Lestrade muram.
Bab 7 : Cahaya Dalam Kegelapan
Berita
yang disampaikan Lestrade begitu tidak terduga sehingga kami semua
terdiam karenanya. Lalu Gregson melompat bangkit, nyaris menumpahkan
sisa whisky-nya, sementara aku dan Holmes bertukar pandang. Bibir Holmes
terkatup rapat dan kedua alisnya mengerut.
"Stangerson juga!" gumamnya. "Alur ceritanya semakin rumit."
"Padahal sebelumnya sudah cukup rumit," gerutu Lestrade sambil meraih kursi. "Kalian tampaknya sedang membahas kasus ini juga."
"Kau... kau yakin tentang kebenaran berita ini?" tanya Gregson terbata.
"Aku baru saja meninggalkan kamar Stangerson," Lestrade menegaskan. "Aku yang pertama kali menemukan mayatnya."
"Tadi kami
sudah mendengarkan pendapat Gregson mengenai kasus ini," kata Holmes.
"Kau tidak keberatan untuk menceritakan apa yang sudah kaulihat dan
lakukan?"
"Aku tidak
keberatan," jawab Lestrade sambil duduk. "Kuakui semula aku beranggapan
Stangerson terlibat dalam kematian Drebber, namun perkembangan baru ini
menunjukkan bahwa aku salah sama sekali.
"Dengan
gagasan bahwa Stangerson bersalah, aku melacak sekretaris itu. Ada saksi
yang melihat Stangerson dan Drebber di Stasiun Euston pada tanggal tiga
sekitar pukul setengah sembilan malam. Esoknya pada pukul dua dini
hari, Drebber ditemukan tewas di Brixton Road. Pertanyaannya adalah, apa
yang dilakukan Stangerson antara pukul setengah sembilan hingga saat
kejadian berlangsung, dan ke mana dia pergi setelah itu. Aku mengirim
telegram ke Liverpool, memberikan gambaran tentang pria itu, dan
memperingatkan mereka untuk mengawasi kapal-kapal Amerika. Kemudian aku
menghubungi semua hotel dan penginapan di kawasan Euston. Menurutku
kalau Drebber dan teman seperalanannya berpisah, sewajarnyalah jika sang
teman menginap di daerah itu, lalu menunggu di stasiun keesokan
paginya."
"Bisa saja mereka sepakat untuk bertemu di tempat lain," sela Holmes.
"Ternyata
memang begitu. Hampir sepanjang malam aku berputar-putar di kawasan
Euston dan mendatangi hotel-hotel di sana, namun hasilnya nihil. Tadi
pagi-pagi sekali aku sudah berangkat untuk melanjutkan penyelidikan, dan
pada pukul delapan aku tiba di Halliday's Private Hotel, di Little
George Street. Sewaktu kutanyakan apakah Mr. Stangerson menginap di
sana, mereka langsung mengiyakan.
"'Anda pasti orang yang ditunggu pria itu,' kata mereka. 'Sudah dua hari dia menunggu-nunggu.'
"'Di mana dia sekarang?' tanyaku.
"'Di kamarnya di lantai atas. Dia minta dibangunkan pada pukul sembilan.'
"'Aku akan menemuinya sekarang juga,' kataku.
"Kukira
kemunculanku yang tiba-tiba akan mengejutkan Stangerson, sehingga tanpa
sadar dia mungkin mengatakan sesuatu yang memberatkan dirinya. Ditemani
petugas hotel, aku naik ke lantai dua dan menyusuri koridor sempit
menuju kamar Stangerson. Petugas hotel menunjukkan pintu kamarnya
padaku, dan berbalik hendak turun kembali. Ketika itulah aku melihat
sesuatu yang langsung menimbulkan rasa mualku. sekalipun aku sudah dua
puluh tahun menjadi polisi. Dari bawah pintu, mengalir darah yang terus
bergerak menyeberangi lorong sampai mem-bentuk kolam kecil di tepi
dinding. Aku ber-teriak, dan petugas hotel itu pun berbalik kembali. Dia
hampir pingsan ketika melihat pemandangan itu.
"Pintu kamar
Stangerson terkunci dari dalam, tapi aku dan petugas hotel berhasil
mendobraknya. Kami masuk ke kamar itu dan mendapati endelanya terbuka.
Di samping jendela ada mayat pria yang meringkuk rapat, masih mengenakan
pakaian tidur. Dia pasti sudah tewas selama beberapa jam, karena kaki
dan tangannya sudah dingin dan kaku. Sewaktu kami membalik jenazah itu,
petugas hotel mengenalinya sebagai pria yang menyewa kamar atas nama
Joseph Stangerson. Penyebab kematian korban adalah tusukan yang dalam di
sisi kiri tubuhnya, yang pasti sudah menembus jantung. Dan sekarang,
bagian yang paling aneh dari kasus ini. Kalian bisa menebak, apa yang
ada di dinding di atas pria yang terbunuh itu?"
Bulu kudukku meremang, rasa takut merayap di hatiku bahkan sebelum Holmes menjawab.
"Kata RACHE, ditulis dengan darah," katanya.
"Benar," kata Lestrade, dengan suara tertegun, dan kami semua terdiam sejenak.
Ada sesuatu
yang metodis dan tidak bisa dipahami mengenai tindakan-tindakan pembunuh
misterius ini, sehingga kasusnya tampak semakin mengerikan. Sarafku,
yang cukup stabil di medan pertempuran, sekarang rasanya mulai
terganggu.
"Ada saksi
yang melihat si pembunuh," lanjut Lestrade. "Seorang bocah pengantar
susu kebetulan melewati jalan di belakang hotel ketika menuju
peternakan. Dia melihat tangga yang biasanya tergeletak di sana, saat
itu terangkat ke salah satu jendela di lantai dua yang terbuka lebar.
Setelah lewat, bocah itu berpaling kembali dan melihat seorang pria
tengah menuruni tangga. Pria itu turun dengan tenang dan secara
terang-terangan, sehingga si bocah mengira dia tukang kayu yang bekerja
di hotel. Bocah itu tidak terlalu memperhatikannya, dia hanya ber-pikir
bahwa pria itu bekerja terlalu pagi. Ketika aku memintanya memberikan
gambaran tentang pria itu, si bocah mengatakan bahwa dia bertubuh
jangkung, berwajah kemerahan, dan mengenakan mantel panjang cokelat.
Kuduga pria itu tetap berada di kamar selama beberapa waktu sesudah
melakukan pembunuhan, karena kami menemukan air bercampur darah di
baskom, tempat dia mencuci tangan, dan bercak-bercak pada seprai yang
digunakannya untuk membersihkan pisaunya."
Aku melirik
Holmes begitu mendengar deskripsi tentang si pembunuh yang persis
seperti dugaannya. Tapi, tidak ada tanda-tanda rasa bangga atau puas di
wajahnya.
"Adakah sesuatu yang kautemukan di dalam kamar yang bisa menjadi petunjuk mengenai siapa pembunuhnya?"
"Tidak ada.
Stangerson membawa dompet Drebber di sakunya, tapi tampaknya ini hal
biasa, karena selama ini dia yang membayar semua pengeluaran mereka. Isi
dompet itu delapan puluh pound lebih, dan tampaknya tidak ada yang
diambil. Apa pun motif kejahatan luar biasa ini, perampokan jelas tidak
termasuk di dalamnya. Tak ada dokumen atau catatan di saku pria yang
terbunuh itu, kecuali sebuah telegram, dikirim dari Cleveland sekitar
sebulan yang lalu, dan berisi pesan, 'J.H. ada di Eropa.' Tidak ada nama
dalam pesan ini."
"Dan tidak ada apa-apa lagi?" tanya Holmes.
"Tidak ada
yang penting. Novel pria itu, yang dibacanya sebagai pengantar tidur,
tergeletak di ranjang, dan pipanya ada di kursi di sampingnya. Ada
segelas air di meja, dan di kusen jendela ada kotak kecil berisi dua
buah pil."
Holmes melompat bangkit dari kursinya sambil berseru gembira, "Mata rantai terakhir! Kasusku selesai!"
Lestrade dan Gregson terpana menatapnya.
"Sekarang
aku sudah berhasil menguraikan semua kerumitan ini dan mendapatkan
benang merahnya," kata temanku penuh percaya diri. Tentu saja, ada
beberapa rincian yang harus diselidiki, tapi aku sudah yakin akan
fakta-fakta utamanya. Aku tahu semua yang terjadi sejak saat Drebber dan
Stangerson berpisah di stasiun hingga mayat Stangerson ditemukan tadi
pagi. Semua begitu jelas, seakan-akan aku menyaksikannya dengan mata
kepala sendiri. Aku akan membuktikannya pada kalian. Lestrade, pil-pil
itu ada padamu?"
"Ya," kata
Lestrade sambil mengeluarkan sebuah kotak putih kecil. "Kotak ini,
dompet, dan telegramnya kubawa untuk diamankan di kantor polisi. Aku
hampir-hampir tidak membawa pil-pil ini, karena kupikir tak ada
hubungannya dengan kasus ini."
"Berikan padaku," tukas Holmes. "Nah, Dokter," katanya berpaling padaku, "tolong per-hatikan... apa ini pil-pil biasa?"
Jelas bukan.
Warna kedua pil itu kelabu bagai mutiara, bentuknya kecil, bulat, dan
hampir tembus pandang bila terkena cahaya. "Dari berat dan
kejernihannya, aku yakin pil-pil ini larut dalam air," kataku.
"Tepat
sekali," jawab Holmes. "Sekarang, kau tidak keberatan untuk turun ke
bawah dan mengambil anjing terrier kecil yang sudah menderita sekian
lama itu? Induk semang kita sudah memintamu untuk menyuntik mati anjing
malang itu, bukan?"
Aku turun ke
lantai bawah dan naik kembali membawa anjing yang dimaksud Holmes.
Napasnya yang berat dan matanya yang berkaca-kaca menunjukkan bahwa
makhluk itu sedang sekarat. Kuletakkan anjing itu di atas bantal di
karpet.
"Salah satu pil ini akan kubelah menjadi dua," ujar Holmes sambil mengeluarkan pisau lipatnya.
"Separonya
kita kembalikan ke kotak untuk keperluan di masa mendatang. Separo yang
lain kuletakkan di gelas anggur yang sudah kuisi dengan sesendok teh
air. Dugaan teman kita, Dr. Watson, tepat. Pil ini larut seketika."
"Percobaan
ini mungkin sangat menarik," kata Lestrade tersinggung, seolah-olah
dirinya sedang ditertawakan, "tapi aku tidak melihat hubungannya dengan
kematian Mr. Joseph Stangerson."
"Sabar,
temanku, sabar! Pada waktunya kau akan tahu bahwa pil-pil ini justru
berkaitan sangat erat dengan pembunuhannya. Sekarang kutambahkan sedikit
susu agar campuran ini lebih enak. Kalian lihat, anjing malang ini
langsung menjilatinya."
Sambil
bicara, Holmes menuangkan isi gelas anggur itu ke piring kecil dan
meletakkannya di didepan anjing yang seketika menjilatinya hingga
tandas. Sikap Holmes sejauh ini telah meyakinkan kami, sehingga kami
semua duduk tanpa bersuara, mengawasi hewan itu dengan tajam dan
mengharapkan pengaruh yang mengejutkan. Tapi tidak terjadi apa-apa.
Anjing itu terus saja berbaring di bantal, bernapas dengan susah payah,
tampak tidak lebih baik atau lebih buruk akibat minumannya.
Holmes telah
mengeluarkan arlojinya, dan saat menit demi menit berlalu tanpa hasil,
kekecewaan besar mewarnai wajahnya. Ia menggigit bibirnya,
mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, dan menunjukkan semua gejala
ketidaksabaran hebat lainnya. Begitu besar emosinya, sehingga aku
sungguh-sungguh merasa kasihan padanya, sementara kedua detektif polisi
tersenyum mengejek, senang melihat kegagalan Holmes.
"Tidak
mungkin kebetulan!" seru Holmes, akhirnya melompat bangkit dari kursinya
dan mondar-mandir di dalam ruangan. "Mustahil kalau ini cuma kebetulan.
Pil-pil yang kuduga berkaitan dengan kasus Drebber ditemukan sesudah
kematian Stangerson. Tapi pil-pil itu tidak berguna. Apa artinya? Jelas
seluruh rangkaian pemikiranku tidak mungkin keliru. Mustahil! Tapi
anjing ini tidak bertambah parah. Ah, aku mengerti!" Sambil berteriak
gembira Holmes bergegas mengambil kotak pil, membelah pil yang satu lagi
menjadi dua, melarutkannya, menambahkan susu, dan memberikannya kepada
si anjing. Lidah makhluk malang itu tampaknya belum lagi tercelup ke
dalam larutan sewaktu tubuhnya mengejang, dan ia tergeletak mati
seakan-akan baru disambar petir.
Holmes
menghela napas panjang dan menghapus keringat dari keningnya.
"Seharusnya aku lebih yakin," katanya. "Seharusnya aku tahu dari
pengalaman bahwa ketika ada fakta yang tampaknya bertentangan dengan
serangkaian panjang proses deduksi, fakta itu bisa saja membuktikan
penafsiran yang lain. Dari kedua pil yang ada di ialam kotak ini, salah
satunya adalah racun yang mematikan, sementara yang lainnya sama sekali
tidak berbahaya. Mestinya aku sudah memperhitungkan itu bahkan sebelum
melihat kotaknya."
Pernyataan
terakhir ini begitu mengejutkan sehingga aku bertanya-tanya apakah
Holmes tidak sedang meracau. Tapi bangkai anjing di depan kami
membuktikan kebenaran kesimpulannya. Kabut dalam benakku perlahan-lahan
menipis, dan aku mulai memahami pemikiran Holmes.
"Semuanya
ini tampak aneh bagi kalian," jelas Holmes, "karena pada awal
penyelidikan kalian tidak menyadari pentingnya satu petunjuk yang ada di
depan mata kalian. Aku cukup beruntung bisa mengenalinya, dan semua
yang terjadi setelahnya mengkonfirmasikan dugaan pertamaku, sebab semua
itu merupakan rangkaian yang logis dari kejadian pertama. Hal-hal yang
membingungkan kalian dan menjadikan kasus ini semakin kabur, bagiku
justru menjelaskan segalanya dan memperkuat kesimpulanku. Salah sekali
jika kita menganggap keanehan sama dengan misteri. Kejahatan yang paling
umum sering kali justru yang paling misterius, karena tidak
menghadirkan hal-hal baru yang bisa menjadi petunjuk. Kasus pembunuhan
Drebber jelas akan lebih sulit dipecahkan, jika mayat korban ditemukan
tergeletak di rel kereta api. Detail-detail aneh yang sama-sama sudah
kita ketahui itulah yang memudahkan pemecahan kasusnya."
Gregson,
yang mendengarkan penuturan Holmes dengan ketidaksabaran yang cukup
mencolok, tak bisa menahan diri lagi. "Dengar, Mr. Sherlock Holmes,"
tukasnya, "kami semua mengakui bahwa kau memang pandai, dan kau memiliki
metode kerja sendiri. Tapi saat ini kami menginginkan lebih dari
sekadar teori atau ceramah. Masalahnya adalah bagaimana menangkap si
pembunuh. Tadi aku sudah mengemukakan pendapatku, dan tampaknya aku
keliru. Charpentier muda tidak mungkin terlibat dalam pembunuhan kedua
ini. Lestrade memburu sasarannya, Stangerson, dan tampaknya dia juga
keliru. Kau memberi petunjuk di sana-sini, dan tampaknya lebih tahu
daripada kami berdua, tapi sudah tiba saatnya kami bertanya, berapa
banyak sebenarnya yang kauketahui tentang urusan ini. Kau bisa
menyebutkan nama pelakunya?"
"Dalam hal
ini aku sependapat dengan Gregson, Sir," ujar Lestrade. "Kami berdua
sudah berusaha, dan sama-sama gagal. Sejak aku tiba di sini, bukan hanya
sekali kau berkata bahwa kau sudah mendapatkan semua bukti yang
kauperlukan. Kau tentu tidak akan menyembunyikannya lebih lama lagi,
bukan?"
"Jika pembunuhnya tidak segera ditangkap," timbrungku, "berarti dia punya kesempatan untuk beraksi lagi!"
Didesak oleh
kami semua, Holmes sepertinya tak bisa mengambil keputusan. Ia
mondar-mandir dalam ruangan dengan kepala tertunduk dan alis mengerut,
sebagaimana kebiasaannya bila ia tengah tenggelam dalam pemikiran.
"Tidak akan
ada pembunuhan lagi," katanya pada akhirnya, berhenti dengan tiba-tiba
dan menghadapi kami. "Kalian bisa mengesampingkan kemungkinan itu.
Kalian menanyakan apakah aku tahu nama pembunuhnya. Ya, aku tahu.
Mengetahui namanya merupakan hal yang sepele dibandingkan dengan
kemampuan untuk me-nangkapnya. Kuharap rencanaku berhasil dan kita bisa
segera menangkapnya. Situasinya memerlukan penanganan yang hati-hati,
karena kita berhadapan dengan seorang pria yang cerdik dan nekat,
apalagi dia didukung oleh orang lain yang sama cerdiknya. Selama pria
ini tidak menyadari bahwa ada orang yang memiliki petunjuk yang bisa
menangkapnya, kita mungkin akan berhasil. Tapi jika dia menaruh curiga
sedikit saja, dia akan mengganti nama dan menghilang seketika di antara
empat juta penduduk kota besar ini. Tanpa bermaksud menyinggung perasaan
kalian, aku terpaksa mengatakan bahwa petugas kepolisian bukanlah
tandingan kedua orang yang kita cari. Itu sebabnya aku ingin menangani
hal ini sendiri. Seandainya aku gagal, tentu saja aku akan mengakui
kesalahan karena tidak meminta bantuan kalian. Aku berjanji bahwa begitu
aku bisa memberitahu kalian apa pun yang tidak membahayakan persiapanku
sendiri, aku akan melakukannya."
Gregson dan
Lestrade tampak jauh dari puas mendengar jaminan ini, lebih-lebih,
ucapan Holmes terkesan merendahkan detektif kepolisian. Wajah Gregson
merah padam, sementara mata rekannya berkilat-kilat penasaran. Namun
sebelum mereka berdua sempat berbicara, terdengar ketukan pintu, dan
Wiggins, juru bicara kelom-pok anak jalanan, muncul.
"Please, Sir," katanya. "Keretanya sudah menunggu di bawah."
"Anak
pandai," kata Holmes. "Kenapa kalian tidak memperkenalkan alat ini di
Scotland Yard," lanjutnya, sambil mengeluarkan borgol baja dari laci.
"Lihat betapa hebat cara kerja pegasnya. Seketika mengunci."
"Borgol yang lama sudah cukup baik," tukas Lestrade, "kalau saja kita bisa menemukan orang yang harus mengenakannya."
"Bagus
sekali, bagus sekali," kata Holmes tersenyum. "Suruh kusirnya naik,
Wiggins. Aku perlu bantuan untuk membawa barang-barangku".
Aku terkejut
melihat temanku berbicara seakan-akan ia siap untuk bepergian, karena
sedikit pun ia tidak pernah menyinggung rencana ini. Holmes menghampiri
koper kecil yang ada di ruang duduk kami dan mulai mengikat talinya. Ia
sedang berkutat dengan tali koper itu sewaktu sang kusir memasuki
ruangan.
"Tolong bantu aku mengikat ini, Kusir," kata Holmes tanpa berpaling.
Kusir
berwajah masam itu mendekat dengan enggan, diulurkannya tangan untuk
membantu. Pada saat itu terdengar bunyi ceklikan, dentingan logam, lalu
Holmes tiba-tiba melompat bangkit.
"Tuan-tuan,"
serunya dengan mata berbinar, "perkenalkan... inilah Mr. Jefferson
Hope, pembunuh Enoch Drebber dan Joseph Stangerson."
Kejadiannya
berlangsung begitu cepat, sehingga kami hampir-hampir tidak
menyadarinya. Tapi aku masih ingat dengan jelas ekspresi Holmes saat itu
dan nada suaranya yang penuh ke-menangan, sementara si kusir tampak
tertegun dan berang, matanya memelototi borgol yang seakan-akan muncul
secara ajaib di pergelangannya. Selama satu-dua detik kami semua terdiam
bagaikan patung. Lalu sambil meraung buas, tahanan itu membebaskan diri
dari cengkeraman Holmes dan menerjang jendela. Kayu dan kaca pecah
berantakan ditembus tubuhnya. Tapi sebelum ia sempat meloloskan diri,
Gregson, Lestrade, dan Holmes sudah menerkamnya bagai anjing-anjing
pemburu. Pria itu diseret kembali ke dalam ruangan, dan pergulatan yang
hebat pun dimulai. Orang itu begitu kuat dan buas sehingga kami berempat
hampir-hampir tak mampu menghadapinya. Ia memiliki tenaga di luar
kemampuan manusia biasa, seperti orang yang terserang epilepsi. Wajah
dan tangannya dipenuhi luka-luka akibat usahanya menerobos jendela,
namun hilangnya darah tidak mengurangi perlawanannya. Baru setelah
Lestrade berhasil meraih kain yang melilit di lehernya dan setengah
mencekiknya, pria itu menyadari kalau perlawanannya sia-sia. Tapi kami
belum merasa aman sampai kami berhasil mengikat kaki dan tangannya.
Setelah hal itu dilakukan, kami bangkit berdiri dengan nafas
terengah-engah.
"Kereta
orang ini ada di sini," kata Holmes. "Kita bisa menggunakannya untuk
membawanya ke Scotland Yard. Dan sekarang, Tuan-tuan," lanjutnya sambil
tersenyum senang, "kita telah mencapai akhir misteri kecil kita. Kalian
boleh mengajukan pertanyaan apapun... aku pasti akan menjawabnya."
Sumber : Disini / Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Arigato atas kunjungan dan komentar agan. Komentar yang anda berikan menjadi motivasi saya membuat blog ini tetap hidup. Silahkan beri komentar yang berkaitan dengan artikel, blog, saran. Jangan berkomentar dengan bahasa yang tidak sopan.